Asap
rokok mengandung 4000 zat kimia berbahaya bagi kesehatan dan terdapat lebih
dari 200 macam racun (Mu’tadin, 2007). Asap rokok itu mengandung antara lain
karbon monoksida (CO) , nikotin, dan polycyclic aromatic hidrocarbon yang
mengandung zat pemicu terjadinya kanker (tar, benzopyrenes,,
nitroso-nor-nicotin, kadmium, hydrogen cyanide, vinyl chlorid, toluane,
arsanic, phenol butana, amonia, methanol, acaton) selain itu asap. 1
Rokok yang dihirup juga mengandung komponen
gas dan partikel yang berbahaya (Guidotti et al, 2007). Nikotin dalam rokok
dapat mempercepat proses penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah.
Penyumbatan dan penyempitan ini bisa terjadi pada pembuluh darah koroner, yang
bertugas membawa oksigen ke jantung. Nikotin, merupakan alkaloid yang bersifat
stimulant dan beracun pada dosis tinggi. Zat yang terdapat dalam tembakau ini
sangat adiktif, dan mempengaruhi otak dan system saraf. Efek jangka panjang
penggunaan nikotin akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan,
sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang semakin tinggi
untuk mendapatkan tingkat kepuasan (Hans, 2003). Tar, mengandung zat kimia
sebagai penyebab terjadinya kanker dan menganggu mekanisme alami pembersih
paru-paru, sehingga banyak polusi udara tertinggal menempel di paru-paru dan
saluran bronchial. Tar dapat membuat system pernapasan terganggu salah
satu gejalanya adalah pembengkakan selaput mucus .1
Gas
karbonmonoksida (CO) mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin (Hb) yang terdapat
dalam sel darah merah (eritrosit) lebih kuat dibanding oksigen, sehingga setiap
ada asap rokok disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah
lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen, oleh karena yang diangkut
adalah CO dan bukan O2 (Oksigen). Sel tubuh yang menderita kekurangan oksigen
akan berusaha meningkatkan asupan oksigen melalui kompensasi pembuluh darah
dimana pembuluh darah akan menciut atau spasme. Bila proses spasme berlangsung
lama dan terus menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya
proses arterosklerosis (penyempitan). Penyempitan pembuluh darah akan terjadi
dimana-mana. Di otak, di jantung, di paru, di ginjal, di kaki, di saluran
peranakan, di ari-ari pada wanita hamil.kekurangan oksigen karena CO (karbon
monoksida) (Theodorus, 1994). Kadar CO yang terhisap juga akan mengurangi nilai
VO2max.1
Dampak
yang ditimbulkan akibat kebiasaan merokok dapat menyebabkan perubahan struktur
dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran nafas besar, sel
mukosa membesar (hyperthropy) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hyperplasia)
sehingga terjadi penyempitan saluran napas. Pada jaringan paru-paru terjadi
peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan struktur
dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru pada perokok akan timbul
permasalahan fungsi paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi
unsur utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM) termasuk emfisema
paru-paru, bronkhitis kronis, dan asma (Hans, 2003). Herminto (1998) juga
menyatakan bahwa, penurunan fungsi paru akan mulai terlihat pada lama
pernapasan yang terjadi pada 2 tahun dan seterusnya akibat debu dan kebiasaan
merokok.1
Rokok tampaknya mampu merusak fungsi enzim
utama di dalam paru-paru. Keadaan inilah yang dapat menimbulkan berbagai jenis
penyakit yang umumnya diderita perokok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
beberapa ilmuwan di U.S. Department of Energy’s Brookhaven National Laboratory
dan para koleganya ini dipublikasikan dalam jurnal Nuclear Medicine edisi
September.2
Penelitian ini menggunakan
sebuah radiotracer untuk melacak enzim
yang terdapat di paru-paru. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi tracer yang
terdapat dalam aliran darah perokok lebih sedikit dibandingkan yang bukan
perokok. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa respon tubuh perokok dan bukan
perokok terhadap sejumlah zat kimia, misalnya obat penenang, obat bius, ataupun
narkoba yang masuk melalui pernafasan atau urat nadi keduanya sama.2
Kelainan
struktur jaringan berkaitan erat dengan respons inflamasi ditimbulkan oleh
paparan partikel atau gas beracun, tetapi dinyatakan faktor utama dan paling
dominan ialah asap rokok dibanding yang lain (Russell, 2002). Risiko terkena
PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian derajat berat merokok
seseorang berdasar Indeks Brinkman (IB), yakni perkalian antara jumlah
rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.
Kategori perokok ringan apabila merokok antara 0-200 batang, disebut perokok
sedang apabila jumlah batang antara 200-600, dan disebut perokok berat apabila
menghabiskan 600 batang atau lebih. 3
Semakin banyak
jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok,
semakin besar risiko dapat mengalami PPOK. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun 1970-1993 sebesar 193% atau
menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi para perokok remaja
yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan
konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan
konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang
rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar
batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar
batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak khususnya
yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 3
PATOGENESIS
Bentuk utama PPOK yaitu Emfisema
Paru dan Bronkitis Kronis, dan ternyata Emfisema merupakan kontributor terbesar
pada kejadian PPOK. Kelainan pada emfisema berbentuk pelebaran abnormal dan
permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang diakibatkan oleh
destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronik,
progresif dan memberikan kecacatan menetap (Finlay, 1996, Barnes, 1997, Senior,
1998, Pardo, 1999). Kelainan struktur parenkim diawali inflamasi kronik
sehingga terjadi destruksi jaringan elastin parenkim dan berakibat terjadi
penurunan fungsi paru. Bentuk kelainan struktur yang dijumpai berupa destruksi
serat elastin septum interalveoler dan ditemukan peningkatan serat kolagen
sebagai bentuk remodeling jaringan ikat paru. Elastin dan kolagen merupakan
komponen utama yang menyusun anyaman (network) jaringan ikat paru dan secara
bersama menentukan daya elastisitas dan kekuatan tensil paru (Finlay, 1997,
Senior, 1998). Destruksi serat elastin merupakan penyebab timbulnya hilangnya
daya elastisitas dan tensil dinding alveoler, terjadi deposisi dan bentuk
remodeling kolagen, terjadilah pembesaran ruang udara pada emfisema.
Destruksi serat elastin dinding saluran napas diakibatkan oleh ketidak seimbangan enzimatis antara elastase anti elastase. Beberapa bukti menunjukkan kebenaran teori, dan diantara bukti itu ialah (Erickson dikutip dari Amin, 1996) penderita yang mengalami defisiensi anti elastase sangat potensial terjadi emfisema paru. Menurut hipotesa, ketidak seimbangan enzimatis elastase-antielastase disebabkan oleh pelepasan konstan atau episodik elastase dalam jaringan paru. Pada keadaan normal, paru dilindungi oleh anti elastase, dan emfisema terjadi apabila keseimbangan elastase-antielastase cenderung meningkatnya elastase, sehingga mengarah ke proses lisis atau destruksi jaringan elastin (Senior, 1998). Elastin merupakan senyawa protein yang berfungsi mempertahankan elastisitas paru sedangkan elastase merusak jaringan elastin dinding saluran napas dan paru, maka akibat yang terjadi pada kerusakan jaringan elastin mempengaruhi komponen Matriks Ekstra Seluler (MES) parenkim paru berupa peningkatan serat kolagen sebagai konsekuensi remodeling jaringan ikat paru dan sifat elastisitas paru menjadi hilang (Finlay, 1997., Senior, 1998). 3
Destruksi serat elastin dinding saluran napas diakibatkan oleh ketidak seimbangan enzimatis antara elastase anti elastase. Beberapa bukti menunjukkan kebenaran teori, dan diantara bukti itu ialah (Erickson dikutip dari Amin, 1996) penderita yang mengalami defisiensi anti elastase sangat potensial terjadi emfisema paru. Menurut hipotesa, ketidak seimbangan enzimatis elastase-antielastase disebabkan oleh pelepasan konstan atau episodik elastase dalam jaringan paru. Pada keadaan normal, paru dilindungi oleh anti elastase, dan emfisema terjadi apabila keseimbangan elastase-antielastase cenderung meningkatnya elastase, sehingga mengarah ke proses lisis atau destruksi jaringan elastin (Senior, 1998). Elastin merupakan senyawa protein yang berfungsi mempertahankan elastisitas paru sedangkan elastase merusak jaringan elastin dinding saluran napas dan paru, maka akibat yang terjadi pada kerusakan jaringan elastin mempengaruhi komponen Matriks Ekstra Seluler (MES) parenkim paru berupa peningkatan serat kolagen sebagai konsekuensi remodeling jaringan ikat paru dan sifat elastisitas paru menjadi hilang (Finlay, 1997., Senior, 1998). 3
Beberapa penderita emfisema
(PPOK) ditemukan pada perokok, sungguhpun kadar anti elastase normal (Tetley,
1997). Elastase suatu enzim proteolitik, mempunyai kemampuan melisiskan serat
elastin (Amin, 1966) dan makrofag alveoler mejadi sumber utama elastase Matrix
Metalloproteinase (MMP)-9 yang memiliki kemampuan melisiskan serat elastin.
(Russell, 2002). Dinyatakan, aktivitas elastase makrofag meningkat secara
signifikan setelah paparan asap rokok (Sansores, 1997), peningkatan pelepasan
tersebut diakibatkan oleh paparan nikotin rokok (Murphy, 1998), udara
terpolusi, lingkungan berdebu (March, 1998, Russel, 2002) Respon imun inflamasi
berupa mobilisasi serta aktivasi Makrofag alveoler dan Netrofil, keduanya merupakan
sel fagosit dan menjadi sumber utama elastase khususnya MMP-9. Penelitian pada
Emfisema paru (PPOK) terjadi peningkatan Makrofag alveoli dan Netrofil di dalam
cairan bilasan bronko alveoler (BAL) (Betsuyaku, 2000) dan inhalasi kronis asap
rokok mengakibatkan peningkatan elastase yang menimbulkan Emfisema paru
(Hautamaki, 1997). 3
Rangkaian respon imun terjadi
dimulai oleh aktivasi Makrofag sel dendrit sebagai sel penyaji atigen (APC),
setelah mencerna atau memakan antigen mengekspresi peptida protein Mayor
Histocompatibility Complex (MHC) klas II pada permukaan sel dan berikatan
dengan reseptor sel T (TcR) sel Th-0 (naiv) (Purnomo, 2000). Sel APC mensekresi
Inter Leukin (IL)-1ß, IL-6, IL-8, IL-12 dan TNF-a. IL-12 mengaktivasi dan
bertindak sebagai mediator untuk menstimulasi diferensiasi sel Th-0 (naiv)
lebih kearah sel Th-1 (Abbas, 1996., Janeway, 1999). Sel T CD-4 Th-1
teraktavasi mensekresi Interferon (IFN)-γ, IL-2. IFN-γ meningkatkan daya
mobilisasi dan aktivitas Makrofag alveoler (fungsional), IL-2 bersifat autokrin
terhadap sel T CD4 Th-1. Karena dinding Makrofag alveoler memiliki reseptor
aktivator IL-1ß dan IFN-γ (Barnes, 1994., Lohman, 1994), maka peningkatan kedua
sitokin tersebut berpengaruh pada peningkatan daya mobilisasi serta aktivasi
makrofag fungsional, peningkatan produksi IL-8 sebagai Neutrofil Chemotacting
Factor (NCF) yang mengaktivasi sekresi elastase Netrofil sehingga mengakibatkan
peningkatan kadar ensim proteolitik MMP-9.3
Hasil penelitian pada penderita
Emfisema paru (PPOK) kadar MMP-9 dan IL-1ß lebih tinggi dan berbeda bermakna
dibanding tidak Emfisema, serta ditemukan pengaruh kuat antara IL-1ß terhadap
IFN-γ dan IFN-γ terhadap MMP-9 serta terdapat prediksi yang kuat kenaikan IL-1ß
terhadap kenaikan MMP-9 (Suradi, 2004). Sifat biologi yang dimiliki MMP-9
ternyata mempunyai umur panjang bahkan sampai beberapa bulan pada septum
interalveoler (Cavarra, 1999), jauh berbeda dibanding umur sitokin yang
berkisar antara 7 – 9 jam. Penelitian tersebut dapat memberkan gambaran tentang
rangkaian proses terjadinya peningkatan MMP-9 pada PPOK, sehingga sifat kronik
progresifitas PPOK dapat dinyatakan sebagai akibat akumulasi dan pelepasan
episodik elastase yang menetap pada jaringan paru. Dengan demikian pula selama
masih merokok, selama itu pula pelepasan elastase tetap berlangsung dan
mengakibatkan akumulasi elastase di jaringan paru.3
DAFTAR PUSTAKA
1.
Irawan ,S.D, 2008, PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP DAYA
TAHAN JANTUNG PARU .Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
2. Siswono,2005,Rokok Merusak system Enzim Paru-paru,
diakses dari www.Gizi.net pada Sabtu, 10
September, 2005
3.
Suradi, Pengaruh
Rokok Pada Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial.
0 komentar:
Posting Komentar