Pages

Ads 468x60px

Labels

Jumat, 18 November 2011

Patofisiologi Rokok ke Paru



PATOFISIOLOGI ROKOK KE PARU

   Asap rokok mengandung 4000 zat kimia berbahaya bagi kesehatan dan terdapat lebih dari 200 macam racun (Mu’tadin, 2007). Asap rokok itu mengandung antara lain karbon monoksida (CO) , nikotin, dan polycyclic aromatic hidrocarbon yang mengandung zat pemicu terjadinya kanker (tar, benzopyrenes,, nitroso-nor-nicotin, kadmium, hydrogen cyanide, vinyl chlorid, toluane, arsanic, phenol butana, amonia, methanol, acaton) selain itu asap. 1
  Rokok yang dihirup juga mengandung komponen gas dan partikel yang berbahaya (Guidotti et al, 2007). Nikotin dalam rokok dapat mempercepat proses penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan dan penyempitan ini bisa terjadi pada pembuluh darah koroner, yang bertugas membawa oksigen ke jantung. Nikotin, merupakan alkaloid yang bersifat stimulant dan beracun pada dosis tinggi. Zat yang terdapat dalam tembakau ini sangat adiktif, dan mempengaruhi otak dan system saraf. Efek jangka panjang penggunaan nikotin akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan, sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang semakin tinggi untuk mendapatkan tingkat kepuasan (Hans, 2003). Tar, mengandung zat kimia sebagai penyebab terjadinya kanker dan menganggu mekanisme alami pembersih paru-paru, sehingga banyak polusi udara tertinggal menempel di paru-paru dan saluran bronchial. Tar dapat membuat system pernapasan terganggu salah satu gejalanya adalah pembengkakan selaput mucus .1
Gas karbonmonoksida (CO) mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin (Hb) yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit) lebih kuat dibanding oksigen, sehingga setiap ada asap rokok disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen, oleh karena yang diangkut adalah CO dan bukan O2 (Oksigen). Sel tubuh yang menderita kekurangan oksigen akan berusaha meningkatkan asupan oksigen melalui kompensasi pembuluh darah dimana pembuluh darah akan menciut atau spasme. Bila proses spasme berlangsung lama dan terus menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses arterosklerosis (penyempitan). Penyempitan pembuluh darah akan terjadi dimana-mana. Di otak, di jantung, di paru, di ginjal, di kaki, di saluran peranakan, di ari-ari pada wanita hamil.kekurangan oksigen karena CO (karbon monoksida) (Theodorus, 1994). Kadar CO yang terhisap juga akan mengurangi nilai VO2max.1
Dampak yang ditimbulkan akibat kebiasaan merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran nafas besar, sel mukosa membesar (hyperthropy) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hyperplasia) sehingga terjadi penyempitan saluran napas. Pada jaringan paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru pada perokok akan timbul permasalahan fungsi paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi unsur utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM) termasuk emfisema paru-paru, bronkhitis kronis, dan asma (Hans, 2003). Herminto (1998) juga menyatakan bahwa, penurunan fungsi paru akan mulai terlihat pada lama pernapasan yang terjadi pada 2 tahun dan seterusnya akibat debu dan kebiasaan merokok.1
 Rokok tampaknya mampu merusak fungsi enzim utama di dalam paru-paru. Keadaan inilah yang dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang umumnya diderita perokok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan di U.S. Department of Energy’s Brookhaven National Laboratory dan para koleganya ini dipublikasikan dalam jurnal Nuclear Medicine edisi September.2
Penelitian ini menggunakan sebuah radiotracer untuk melacak enzim yang terdapat di paru-paru. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi tracer yang terdapat dalam aliran darah perokok lebih sedikit dibandingkan yang bukan perokok. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa respon tubuh perokok dan bukan perokok terhadap sejumlah zat kimia, misalnya obat penenang, obat bius, ataupun narkoba yang masuk melalui pernafasan atau urat nadi keduanya sama.2

Kelainan struktur jaringan berkaitan erat dengan respons inflamasi ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi dinyatakan faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok dibanding yang lain (Russell, 2002). Risiko terkena PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian derajat berat merokok seseorang berdasar Indeks Brinkman (IB), yakni perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Kategori perokok ringan apabila merokok antara 0-200 batang, disebut perokok sedang apabila jumlah batang antara 200-600, dan disebut perokok berat apabila menghabiskan 600 batang atau lebih. 3
Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun 1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi para perokok remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 3


PATOGENESIS
             Bentuk utama PPOK yaitu Emfisema Paru dan Bronkitis Kronis, dan ternyata Emfisema merupakan kontributor terbesar pada kejadian PPOK. Kelainan pada emfisema berbentuk pelebaran abnormal dan permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang diakibatkan oleh destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronik, progresif dan memberikan kecacatan menetap (Finlay, 1996, Barnes, 1997, Senior, 1998, Pardo, 1999). Kelainan struktur parenkim diawali inflamasi kronik sehingga terjadi destruksi jaringan elastin parenkim dan berakibat terjadi penurunan fungsi paru. Bentuk kelainan struktur yang dijumpai berupa destruksi serat elastin septum interalveoler dan ditemukan peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodeling jaringan ikat paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama yang menyusun anyaman (network) jaringan ikat paru dan secara bersama menentukan daya elastisitas dan kekuatan tensil paru (Finlay, 1997, Senior, 1998). Destruksi serat elastin merupakan penyebab timbulnya hilangnya daya elastisitas dan tensil dinding alveoler, terjadi deposisi dan bentuk remodeling kolagen, terjadilah pembesaran ruang udara pada emfisema.
Destruksi serat elastin dinding saluran napas diakibatkan oleh ketidak seimbangan enzimatis antara elastase anti elastase. Beberapa bukti menunjukkan kebenaran teori, dan diantara bukti itu ialah (Erickson dikutip dari Amin, 1996) penderita yang mengalami defisiensi anti elastase sangat potensial terjadi emfisema paru. Menurut hipotesa, ketidak seimbangan enzimatis elastase-antielastase disebabkan oleh pelepasan konstan atau episodik elastase dalam jaringan paru. Pada keadaan normal, paru dilindungi oleh anti elastase, dan emfisema terjadi apabila keseimbangan elastase-antielastase cenderung meningkatnya elastase, sehingga mengarah ke proses lisis atau destruksi jaringan elastin (Senior, 1998). Elastin merupakan senyawa protein yang berfungsi mempertahankan elastisitas paru sedangkan elastase merusak jaringan elastin dinding saluran napas dan paru, maka akibat yang terjadi pada kerusakan jaringan elastin mempengaruhi komponen Matriks Ekstra Seluler (MES) parenkim paru berupa peningkatan serat kolagen sebagai konsekuensi remodeling jaringan ikat paru dan sifat elastisitas paru menjadi hilang (Finlay, 1997., Senior, 1998). 3
               Beberapa penderita emfisema (PPOK) ditemukan pada perokok, sungguhpun kadar anti elastase normal (Tetley, 1997). Elastase suatu enzim proteolitik, mempunyai kemampuan melisiskan serat elastin (Amin, 1966) dan makrofag alveoler mejadi sumber utama elastase Matrix Metalloproteinase (MMP)-9 yang memiliki kemampuan melisiskan serat elastin. (Russell, 2002). Dinyatakan, aktivitas elastase makrofag meningkat secara signifikan setelah paparan asap rokok (Sansores, 1997), peningkatan pelepasan tersebut diakibatkan oleh paparan nikotin rokok (Murphy, 1998), udara terpolusi, lingkungan berdebu (March, 1998, Russel, 2002) Respon imun inflamasi berupa mobilisasi serta aktivasi Makrofag alveoler dan Netrofil, keduanya merupakan sel fagosit dan menjadi sumber utama elastase khususnya MMP-9. Penelitian pada Emfisema paru (PPOK) terjadi peningkatan Makrofag alveoli dan Netrofil di dalam cairan bilasan bronko alveoler (BAL) (Betsuyaku, 2000) dan inhalasi kronis asap rokok mengakibatkan peningkatan elastase yang menimbulkan Emfisema paru (Hautamaki, 1997). 3
             Rangkaian respon imun terjadi dimulai oleh aktivasi Makrofag sel dendrit sebagai sel penyaji atigen (APC), setelah mencerna atau memakan antigen mengekspresi peptida protein Mayor Histocompatibility Complex (MHC) klas II pada permukaan sel dan berikatan dengan reseptor sel T (TcR) sel Th-0 (naiv) (Purnomo, 2000). Sel APC mensekresi Inter Leukin (IL)-1ß, IL-6, IL-8, IL-12 dan TNF-a. IL-12 mengaktivasi dan bertindak sebagai mediator untuk menstimulasi diferensiasi sel Th-0 (naiv) lebih kearah sel Th-1 (Abbas, 1996., Janeway, 1999). Sel T CD-4 Th-1 teraktavasi mensekresi Interferon (IFN)-γ, IL-2. IFN-γ meningkatkan daya mobilisasi dan aktivitas Makrofag alveoler (fungsional), IL-2 bersifat autokrin terhadap sel T CD4 Th-1. Karena dinding Makrofag alveoler memiliki reseptor aktivator IL-1ß dan IFN-γ (Barnes, 1994., Lohman, 1994), maka peningkatan kedua sitokin tersebut berpengaruh pada peningkatan daya mobilisasi serta aktivasi makrofag fungsional, peningkatan produksi IL-8 sebagai Neutrofil Chemotacting Factor (NCF) yang mengaktivasi sekresi elastase Netrofil sehingga mengakibatkan peningkatan kadar ensim proteolitik MMP-9.3
                 Hasil penelitian pada penderita Emfisema paru (PPOK) kadar MMP-9 dan IL-1ß lebih tinggi dan berbeda bermakna dibanding tidak Emfisema, serta ditemukan pengaruh kuat antara IL-1ß terhadap IFN-γ dan IFN-γ terhadap MMP-9 serta terdapat prediksi yang kuat kenaikan IL-1ß terhadap kenaikan MMP-9 (Suradi, 2004). Sifat biologi yang dimiliki MMP-9 ternyata mempunyai umur panjang bahkan sampai beberapa bulan pada septum interalveoler (Cavarra, 1999), jauh berbeda dibanding umur sitokin yang berkisar antara 7 – 9 jam. Penelitian tersebut dapat memberkan gambaran tentang rangkaian proses terjadinya peningkatan MMP-9 pada PPOK, sehingga sifat kronik progresifitas PPOK dapat dinyatakan sebagai akibat akumulasi dan pelepasan episodik elastase yang menetap pada jaringan paru. Dengan demikian pula selama masih merokok, selama itu pula pelepasan elastase tetap berlangsung dan mengakibatkan akumulasi elastase di jaringan paru.3

DAFTAR PUSTAKA

1.      Irawan ,S.D, 2008,  PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP DAYA TAHAN JANTUNG PARU .Universitas Muhammadiyah  Surakarta.
2.      Siswono,2005,Rokok Merusak system Enzim Paru-paru, diakses dari www.Gizi.net  pada Sabtu, 10 September, 2005
3.      Suradi, Pengaruh Rokok  Pada  Penyakit  Paru Obstruksi Kronik  (PPOK) Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial.

0 komentar:

Posting Komentar