BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala
bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh
IgE.1
Rhinitis alergi terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita bereaksi
berlebihan terhadap partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem
kekebalan tubuh kita menyerang partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala
seperti bersin-bersin dan hidung meler. Partikel-partikel itu disebut alergen
yang artinya partikel-partikel itu dapat menyebabkan suatu reaksi alergi.1,2
Rhinitis
alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit
rhinitis alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah
penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang
sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita
umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita
dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan
predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi,
akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang
tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya .3
Bagaimana pun juga, rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala yang dialami dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita akan mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, sering meninggalkan sekolah atau pekerjaannya, dan menghabiskan biaya yang besar bila menjadi kronis. RA juga dipengaruhi lingkungan dari faktor allergen. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.1,2,3
Bagaimana pun juga, rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala yang dialami dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita akan mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, sering meninggalkan sekolah atau pekerjaannya, dan menghabiskan biaya yang besar bila menjadi kronis. RA juga dipengaruhi lingkungan dari faktor allergen. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.1,2,3
Penyakit alergi sering dijumpai di
masyarakat. Kekerapan penyakit ini meningkat seiring dengan perubahan gaya
hidup menuju pola hidup masyarakat maju. Perubahan pembangunan dari sektor
pertanian ke sektor gaya hidup masyarakat termasuk penggunaan selimut, karpet
di rumah serta polusi udara merupakan faktor yang dapat meningkatkan kekerapan
penyakit alergi terutama penyakit alergi pernapasan. Seperti juga anggota
masyarakat lain maka para karyawan berisiko untuk menderita penyakit alergi dan
risiko ini dapat bertambah jika lingkungan di tempat kerja memudahkan paparan terhadap
berbagai alergen dan iritan. Di lain pihak penyakit alergi menurunkan
produktivitas kerja. 3
Di Amerika Serikat rinitis alergik
misalnya mengakibatkan kehilangan 811.000 hari kerja setiap tahun. Karyawan penderita
alergi yang masuk kerja produktivitasnya menurun akibat gejala penyakit maupun
pengaruh efek samping terapi. Mereka mengeluh mudah lelah, sulit berkonsentrasi
dan sakit kepala.3
Quality
of life atau kualitas hidup adalah istilah yang digunakan untuk mengukur
kesejahteraan. Kesejahteraan menggambarkan seberapa baik perasaan seseorang
terhadap lingkungan mereka, dan secara kolektif perasaan ini dapat dianggap
sebagai quality of life. Istilah quality of life digunakan untuk
mengevaluasi kesejahteraan individu dan masyarakat secara umum. Istilah ini
digunakan dalam berbagai konteks, termasuk bidang pembangunan internasional,
kesehatan, dan ilmu politik. Quality of life tidak sama dengan konsep
standar hidup, yang didasarkan terutama pada pendapatan. Sebaliknya, indikator
standar quality of life meliputi tidak hanya kekayaan dan lapangan
kerja, tetapi juga membangun lingkungan, kesehatan fisik dan mental,
pendidikan, rekreasi dan waktu senggang, dan hak untuk bersosial.3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 RHINITIS ALERGI
2.1.1 Definisi
Rhinitis alergi (RA) adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya mediator kimia ketika terjadi paparan
ulang dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,1986). Definisi menurut WHO
ARIA rinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala rasa gatal,
rinore, bersin-bersin, dan hidung tersumbat karena mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE. 1,2
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
*Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk pyramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung(bridge),batang
hidung(dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior).1,2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan kulit dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka terdiri dari tulang hidung (os nasal), processus frontalis os maxilla,
processus nasalis os frontal.1,2
Sedangkan tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung iaitu
sepasang kartilago nasalis latelaris superior, sepasang kartilago nasalis
latelaris inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum.1,2
Rongga hidung/cavum nasi berbentuk
terowongan dari depan ke belakang dipisahkan,oleh septum nasi dibagian
tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut koana yang
menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring. Bagian cavum nasi yang letaknya
sesuai dengan ala nasi, tepatnya dibelakang nares anterior pula disebut
vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4
buah dinding iaitu dinding medial,lateral,inferior dan superior.1,2,3,4
Dinding medial hidung ialah septum
nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang rawan dan tulang,dimana bagian tulangnya
adalah lamina perfendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os palatina
sedangkan bagian tulang rawannya adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periosteum pada bagian tulangnya sedangkan diluarnya dilapisi
oleh mukosa hidung. Dibagian depan septum nasi terdapat daerah yang disebut
little’s area atau pleksus kleselbach yang merupakan tempat pertemuan pembuluh
darah di hidung. 3,4,5
Dinding lateral hidung terdapat 4
buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior,kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan yang lebih kecil lagi
ialah konka superior,sedangkan yang terkecil adalah konka suprema (biasanya
rudimenter). Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maxilla dan labirin etmoid,sedangkan konka media,superior,dan suprema adalah
bagian dari labirin etmoid.3,4,5
Diantara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Tergantung dari letak
meatus ada tiga meatus yaitu inferior,media,dan superior. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung. Pada mestus inferior terdapat muara(ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,sinus maxilla,sinus etmois
posterior.Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka medis
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis,yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.Lamina
kribiformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang seperti saringan, tempat masuknya serabut saraf olfaktorius.
Dibagian posterior atap rongga hidung terbentuk oleh os sfenoid. Semua bangunan
ini membentuk batas rongga hidung.1,2,3,4
*Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung
berasal dari a.ethmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari
a.oftalmika dari a.karotis interna.3,4,5
Bagian bawah rongga hidung mendapat
perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah hujung
a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang hujung posterior konka media. Manakala
bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yag disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus ini terletak superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.3,4,5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yag disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus ini terletak superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.3,4,5
Vena-vena hidung mempunyai nama yang
sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan
struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak mempunyai katup sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.3,4,5
*Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas ringga hidung
mendapat persarafan sensoris dari n.ethmoidalis anterior yang merupakan cabang
dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).3,4,5
Rongga hidung lainnya sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas
hujung posterior konka media.
Untuk fungsi penghidu pula berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3,4,5
Untuk fungsi penghidu pula berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3,4,5
*Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan
teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
- Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.1,2,3,4
- Fungsi penghidu kerana terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. Mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum berfungsi sebagai indera penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.1,2,3,4
- Fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh
hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.1,2,3,4 - Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1,2,3,4
- Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.1,2,3,4
2.1.3
Etiologi
Kelainan
alergi disebabkan sebagai reaksi imun yang tidak diharapkan yang disebut dengan
atopi. Atopi adalah suatu tipe alergi yang diperantarai antibodi tipe-reagin. Mesipun
IgE merupakan sistem imunoglobulin yang terutama terlibat dalam pembentukan
kelainan atopik, mekanisme imun lain dapat pula berperan pada reaksi alergi.1,2,3
*Faktor-faktor yang
berpengaruh pada RA
RA dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal
penderita.
1.
Faktor internal
Faktor internal penyebab munculnya gejala RA antara lain
genetik/riwayat keluarga atopi positif dan jenis kelamin.3,4
a.
Faktor genetik/riwayat keluarga atopi positif
RA berat dan sensitif terhadap multi alergen lebih sering ditemukan
pada individu dengan riwayat atopi dibandingkan dengan non-atopi. Pada
kenyataannya risiko terbesar RA adalah jika kedua orang tua atopi atau salah
satu orang tua atopi, meskipun penyebab RA adalah multi faktorial. Komponen
genetik yang diwariskan kepada anaknya adalah kemampuan untuk memberikan reaksi
terhadap suatu alergen tertentu yang diturunkan. Gen yang berperan dalam RA
anatara lain 3q21, 5q31–q33, 7p14–p15, 14q24.1,3,4
b.
Jenis kelamin
Apabila seorang ibu dengan riwayat atopi positif maka akan diturunkan
pada anak laki-laki dimana seluruh anak laki-lakinya akan menderita atopi
positif tetapi bagi anak perempuannya hanya sebagai carrier. Berbeda
halnya apabila riwayat alergi hanya berasal dari pihak ayah maka anak laki-laki
hanya memiliki kemungkinan alergi 50% yang diturunkan, dan seluruh anak
perempuannya tidak akan menderita atopi atau sebagai carrier.Meskipun
demikian, Leif Hommers pada penelitiannya mendapatkan angka kejadian antara
pria dan wanita adalah 1:1.1,3,4
2.
Faktor eksternal
Faktor eksternal pasien dapat berupa faktor non-alergen/iritan dan
faktor alergen. Faktor non-alergen antara lain suhu udara yang rendah, udara
lingkungan yang lembab, serta gaya hidup. Sedangkan faktor alergen terdiri dari
aeroalergen dan alergen ingestan.1,3
Faktor
Non-Alergen
a.Suhu
dan kelembaban udara
Larry GA dan Thomas AE pada penelitiannya menyatakan bahwa suhu udara
berkisar 23–25oC serta 75% kelembaban relatif merupakan suasana yang sangat
baik untuk hidup dan berkembangnya aeroalergen dari kecoa serta dust mite.4
Tungau 23 debu rumah (dust mite) dapat berkembang paling baik pada suhu
250C dengan kelembaban rerata 65-75%. Sama keadaannya dengan kecoa dimana
lingkungan dengan kelembaban lebih dari 65% sangat disukai oleh kecoa.1,3,4
b.
Gaya hidup
Penelitian di Amerika utara, Eropa dan Afrika Selatan menunjukan bahwa
prevalensi penyakit atopi dan RA lebih tinggi di daerah perkotaan dari pada
daerah pedesaan. Ditemukan pula bahwa anak peternak/petani mempunyai RA yang
lebih sedikit dibanding yang lain. Hal ini mendukung bahwa gaya hidup di
pedesaan dapat melindungi anak-anak dari penyakit alergi. 1,3
Aktivitas hidup sehari-hari yang lebih menghabiskan waktu di dalam
suatu ruangan seperti petugas perpustakaan, pengarsipan dan administrator
dimana akumulasi debu lebih mudah terjadi dibandingkan petugas yang bekerja di
luar ruangan ataupun di lapangan maka lebih mudah terstimulasi untuk terjadinya
RA. 1,3
2.1.4 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan penyakit
imunologi yang sering ditemukan. Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi
rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat
dalam dekade terakhir.3
Usia rata-rata onset rinitis alergi
adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun.
Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Dalam
suatu penelitian di Medan, dari 31 penderita rinitis alergi, ditemukan
perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 1.58 : 1 (Hanum,
1989). Zainuddin (1999) di Palembang mendapatkan dari 259 penderita rinitis
alergi 122 laki-laki dan 137 perempuan. Budiwan (2007) di Semarang pada
penelitiannya dengan 80 penderita rinitis alergi mendapatkan laki-laki 37,5%
dan perempuan 62,5%. Keluarga atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada
nonatopi (Karjadi, 2001). Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi
menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Rinitis alergi dan atopi secara
umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi
alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Peran
lingkungan rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi .5,6
Dalam sebuah penelitian
retrospektif terhadap 12.946 orang pasien berumur 5-62 tahun yang datang ke
poliklinik sub bagian Alergi Imunologi bagian THT FKUI/RSCM selama tahun 1992,
ditemui penderita rinitis alergi sejumlah 147 orang, atau berkisar 1,14%.
Gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin/gatal hidung (89,80%), rinore
(87,07%) dan obstruksi hidung (76,19%). Kelompok umur 1-10 tahun berjumlah
paling sedikit (3,40%) kemudian meningkat dengan bertambahnya umur, dan
selanjutnya menurun setelah berumur 40 tahun, dengan frekuensi terbanyak pada
kelompok umur 21-30 tahun (37,41%). 5,6
Prevalensi rinitis alergi di
Amerika Utara sekitar 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20%,
di Jepang sekitar 10% dan 25% di New Zealand (Zainuddin, 1999). Insidensi dan
prevalensi rinitis alergi di Indonesia belum diketahui dengan pasti.
Baratawidjaja et al (1990) pada penelitian di suatu daerah di Jakarta
mendapatkan prevalensi sebesar 23,47%, sedangkan Madiadipoera et al (1991) di
Bandung memperoleh insidensi sebesar 1,5%, seperti yang dikutip Rusmono (1993).
Berdasarkan survei dari ISSAC (International Study of Asthma and Allergies
in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001-2002,
prevalensi rinitis alergi sebesar 18% .5,6
2.1.5 Klasifikasi
Saat ini klasifikasi RA menggunakan rekomendasi dari WHO ARIA 2001,
yaitu berdasarkan tipe RA yang masing-masing dapat dibedakan menurut
derajatnya. Klasifikasi RA berdasarkan tipe dibagi menjadi: 2
a.
Rinitis alergika intermiten
Apabila
gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau berlangsung kurang dari 4
minggu. 2,5
b.
Rinitis alergika persisten
Apabila
gejala timbul lebih dari 4 hari per minggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.2,5
Berdasarkan derajat RA, dibagi menjadi:
a. Ringan bila
tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.2,5
b. Sedang-berat
bila terdapat satu atau lebih gangguan tersebut di atas.2,5
2.1.6 Patofisiologi
RA merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap elisitasi atau reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan reaksi
alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah terpapar alergen dan dapat berlangsung sampai 24–48
jam.2
Dalam
patogenesisnya, RA dibedakan ke dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang
dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap efektor.1,3,5,6
1.Fase
sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti
tepung sari, debu, serpihan kulit binatang dan protein lain yang terhirup
bersama inhalasi udara napas. Pada kontak pertama dengan alergen, dimana
makrofag atau monosit yang berperan 9 sebagai antigen precenting cell (APC)
akan menangkap aeroalergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.1,3,5,6
Alergen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian diproses
oleh makrofag/sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan APC menjadi
peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat
pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. APC ini akan mengalami migrasi ke
adenoid, tonsil atau limfonodi yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0.1,3,5,6
Pada penderita atopi, reseptor sel T (TCR) pada limfosit Th0 bersama
molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen
tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara TCR bersama molekul CD4 dengan
MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada
sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel,
sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.
APC melepas sitokin seperti IL-1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.1,3,5,6
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita
yang mempunyai bakat alergi (atopi) dan presentasi alergen oleh sel-sel dari
APC kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 dan IL-13 yang diikat
oleh reseptorya di permukaan sel limfosit B, sehingga memacu sel 10 limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang
diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan
dengan reseptornya dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel
mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian
keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan
sub-mukosa hidung.1,3,5,6
2.
Fase elisitasi
a.
Tahap aktifasi
Pada penderita yang sudah tersensitisasi jika terjadi paparan ulang
dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung
dapat terjadi ikatan/bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan
pada permukaan sel mast/basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking).
Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil
dengan alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine triphospate
(GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C untuk
mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol
triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2.
Inositol triphosphate (IP3) menyebabkan penglepasan ion calcium intra sel (
Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung
mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-
calmodulin yang mengaktifkan enzim myosin light chain kinase.
Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan
protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya mediator
lipid yang tergolong dalam newly formed mediators seperti prostaglandin
D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet activakting factors (PAF) dan
eksositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut sebagai preformed
mediator seperti histamin, tryptase dan bradikinin.1,3,5,6
Histamin merupakan mediator kimia
penting yang dilepaskan sel mast karena histamin dapat mengakibatkan lebih dari
50% gejala reaksi alergi hidung (bersin, rinore, hidung gatal dan hidung
tersumbat). Histamin mempunyai efek langsung pada endotel yaitu meningkatkan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang memperberat
gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf nosiceptif tipe C
pada mukosa hidung yang berasal dari N.V menyebabkan rasa gatal di hidung dan
merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar karena
aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar yang
menyebabkan gejala rinore yang serosa.1,3,5,6
Selain itu histamin juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehinga terjadi transudasi ke
interstitiel yang mengakibatkan mukosa hidung terutama konka menjadi edema.
Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat
atau reaksi fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast
akan dimetabolisme oleh histamin N-methyl transferase ( HMT) pada sel epitel
maupun pada endotel.1,3,5,6
b.
Tahap efektor
Gambaran khas RFL adalah tertariknya berbagai macam sel inflamasi
khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor mayor
pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma bronkhial. Setelah reaksi fase
segera dengan adanya penglepasan sitokin dan aktifasi endotel mengakibatkan
terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat (RFL) terjadi pada sebagian
penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan
menetap selama 24-48 jam.1,3,5,6
Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai
ke jaringan/lokasi alergi dipengaruhi faktor kemotaktik, melalui beberapa tahap
seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh
darah dan mulai berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami
inflamasi (rolling), diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang
diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel seperti intercell adhesi
molecule–1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesi molecule-1 (VCAM-1)
yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinofil
mengekpresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga
diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang mendapatkan
paparan alergen spesifik terus menerus dan menjadi dasar konsep adanya minimal
persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitis alergi terhadap
tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala1,3,5,6
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan
perilaku spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran
pro-inflamasi dan peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas
dikenal dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal
dari sumsum tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga
ditemukan di mukosa hidung penderita rinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil
merupakan sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang
pendek (8-18 jam). Pada mukosa hidung penderita RA sel eosinofil berperan
penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung berbagai mediator
kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein
(ECP), eosinophiel derived neurotoxin (EDN) dan eosinophiel
peroxidase (EPO) yang mempunyai efek menyebabkan
desagresi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf mukosa dan
kerusakan sel karena radikal bebas.1,3,5,6
2.1.7 Gejala
Gejala klinik RA ditandai rasa gatal di hidung diikuti serangan bersin
yang seringkali berturut-turut, rinore cair/seros dan hidung tersumbat yang
berganti-ganti antara hidung sebelah kiri dan sebelah kanan terutama waktu
tidur atau posisi berbaring. Selain itu pada sebagian kasus disertai gejala
mata yaitu rasa gatal dan mata berair, rasa gatal di telinga dan kadang-kadang
rasa gatal di langit-langit. Pada pemeriksaan fisik hidung ditemukan mukosa
hidung yang bervariasi dari tampak normal sampai mukosa yang pucat, edem hebat
dan rinore yang profus.1,2,3
Salah satu cara untuk mengukur beratnya gejala RA adalah menggunakan
skor gejala yang relatif mudah dipahami oleh penderita yaitu yang langsung
dihubungkan dengan aktifitas penderita sehari-hari. Gejala RA dibedakan dengan
rentang nilai skor 0-3. Caranya penderita diminta untuk menilai 4 gejala pokok
rinitis alergi yaitu hidung gatal, bersin, rinore dan hidung tersumbat. Nilai skor
0=tidak ada gejala, skor 1=ringan; ada gejala tapi tidak dirasakan mengganggu,
skor 2=sedang; gejala mengganggu tapi masih dapat ditoleransi/tidak mengganggu
aktifitas dan tidur, sedangkan skor 3=berat; gejala mengganggu aktifitas atau
tidur.1,3,Gejala RA juga dapat diukur dengan cara obyektif dengan
uji provokasi aplikasi alergen dan diukur beratnya gejala dengan menghitung
frekuensi bersin, banyaknya rinore dan derajat obstruksi hidung dengan nasal respiratory peak flow.1,3,6
2.1.8 Diagnosis
Diagnosis RA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1,2,3
1.
Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa dan hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis.
Gejala rinitis alergi yang khas adalah bersin-bersin, terutama pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lain adalah rinore yang
encer dan banyak, hidung tesumbat, hidung dan mata gatal, disertai lakrimasi.
Sering gejala yang timbul tidak lengkap terutama pada anak-anak. Kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan pasien.1,2,3,5,6
2.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livide disertai adanya sekret encer yang banyak.6
Gejala spesifik lain yaitu warna kehitaman pada daerah infraorbita disertai
dengan pembengkakan yang terjadi karena adanya stasis dari vena akibat edema
mukosa hidung dan sinus disebut allergic shiners. Pada anak-anak yang
sering mengusap-usap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal dapat
terjadi allergic salute. Keadaan mengusap-usap hidung lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah
yang disebut allergic crease. Keadaan dimana mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi disebut facies adenoid atau sad looking face.
Keadaaan dinding posterior faring tampak granuler dan edema sedangkan dinding
lateral faring menebal disebut cobblestone appearance serta lidah tampak seperti gambaran peta
disebut geographic tongue.1,2,3,5,6
3.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini memakai metode invitro dan invivo. Metode
invitro yaitu dengan pemeriksaan hitung eosinofil dalam darah tepi,
maupun pemeriksaan IgE total. Hasil pemeriksaan sering meningkat bila terdapat
lebih dari satu jenis alergi. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE
spesifik dengan RAST atau ELISA. Metode yang lain yaitu metode in vivo dengan
cara tes kulit gores, tes kulit tusuk dan tes kulit intra epidermal yang tunggal
atau berseri.1,2,3,5
Uji kulit pertama kali dilakukan oleh
Charles Horrison Backley pada tahun 1860 untuk mendiagnosis penyakit alergi
musiman. Tes kulit ini kemudian menjadi standar untuk melakukan diagnosis
penyakit alergi. Pada penderita alergi, tes kulit digunakan alergen yang bila
sensitif akan menimbulkan reaksi kulit berupa eritema dan indurasi (wheal)
10-20 menit setelah alergen disuntik atau dicukit. Pemeriksaan ataupun tes
alergi pada penderita dalam keadaan hamil lebih baik dihindari dengan alasan
apabila terjadi anaphylactic shock maka harus dilakukan injectie adrenalin
yang berisiko abortus, terutama pada trimester pertama.1,3,5,6
Terdapat 2 macam uji kulit:
a.
Uji kulit epidermal
1)
Uji gores kulit (scrath test)
Uji gores kulit dilakukan dengan
menggores menggunakan jarum steril sepanjang 0,5 cm pada epidermis daerah
punggung atau lengan bawah bagian volar, kemudian diteteskan alergen atau
sebaliknya dengan diteteskan dulu alergen kemudian digores dengan kedalaman
yang sama. Pembacaan hasil uji setelah 20 menit. Hasil uji positif apabila
timbul eritema dan wheal, kemudian diukur diameternya dalam millimeter.
Pada Basic Course Allergy in Otolaryngology 1993 di Boston dikemukakan
bahwa sekarang uji gores kulit tidak dipergunakan lagi karena sering
menimbulkan positif palsu karen asulit membedakan iritasi kulit dengan reaksi
alergi, selain itu uji ini kurang sensitif.1,3
2)
Uji cukit kulit (prick test)
Uji cukit kulit ini sangat populer,
cepat, sederhana, tidak menyakitkan, relatif aman, jarang menimbulkan reaksi
anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik, dapat dilakukan terhadap beberapa
alergen pada satu sesi dan mempunyai korelasi yang baik dengan IgE spesifik.
Uji ini mula-mula dilakukan dengan membersihkan lengan bawah bagian volar
dengan alkohol, ditunggu sampai kering. Tempat penetesan alergen ditandai
secara berbaris dengan jarak 2-3 cm di atas kulit tersebut. Teteskan setetes
alergen pada tempat yang disediakan, teteskan juga kontrol positif (larutan histamine
phosphate 0,1%) dan kontrol negatif (larutan phosphate buffered saline dengan
fenol 0,4%), dengan memakai jarum disposable nomer 26.1,3
Kemudian dilakukan tusukan dangkal melalui masing-masing ekstrak yang
telah diteteskan. Tusukan dijaga jangan sampai menimbulkan perdarahan.
Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter eritema dan wheal
yang timbul.1,3
Penilaian gradasi tes tusuk (prick test):1,3
Gradasi
0 : Terdapat eritema dan wheal berukuran 0 sampai dengan 1,0 mm.
Gradasi
1 : Terdapat eritema dan wheal berukuran 1,1 sampai dengan 2,0 mm.
Gradasi
2 : Terdapat eritema dan wheal berukuran 2,1 sampai dengan 3,0 mm.
Gradasi
3 : Terdapat eritema dan wheal berukuran 3,1 sampai dengan 4,0 mm.
Gradasi
4: Terdapat eritema dan wheal berukuran lebih dari 4,0 mm.
b.
Uji kulit intradermal
1)
Pengenceran tunggal (dilution)
Tes kulit ini memakai konsentrasi yang bervariasi, biasanya memakai
1:1000 dan dilakukan jika respon alergen pada uji cukit kulit negatif atau
kurang sensitif.1,3
2)
Pengenceran berganda (Skin End point Titration/SET)1,3
2.1.9
Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah
dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi1,2,,3,5,6
2. Simtomatik:
*Medikamentosa
- Antihistamin ( pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4 mg atau Loratadin/ Astemizole 1 x 10 mg sehari ).1,3,5,6
- Kortikosteroid (Deksametason, Betametason), ingat kontra indikasi.1,3,5,6
- Diberikan dengan "tappering off".1,3,5,6
- Dekongestan lokal: tetes hidung. Larutan Efedrin 1/2-1%, atau Oksimetazolm 0.025% - 0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dan seminggu.1,3,5,6
- Bila perlu buntu hidung dapat diterapi dengan kaustik konka inferior.1,3,5,6
- Dekongestan oral: Psedoefedrin, 2 - 3 x 30 - 60 mg sehari.1,3,5,6
*Operatif
Tindakan
konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat.1,3,5,6
3. Imunoterapi
- Desensitisasi dan hiposensitisasi : Cara ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
· Netralisasi : Cara ini dilakukan
untuk alergi makanan.1,3,5,6
2.2. KUALITAS HIDUP
Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu
tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan
nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan
pandangan-pandangannya, yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas
hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan.7,8
Kualitas hidup dalam ilmu kesehatan dipakai untuk
menilai rasa nyaman/sehat (well-being) pasien dengan penyakit kronik atau menganalisis
biaya/manfaat (costbenefit) intervensi
medis, meliputi kerangka individu, kelompok dan sosial, model umum kualitas
hidup dan bidang-bidang kehidupan yang mempengaruhi.7,8
Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (health-related quality of life/HRQOL)
menggambarkan pandangan individu atau keluarganya tentang tingkat kesehatan individu tersebut setelah
mengalami suatu penyakit dan mendapatkan suatu bentuk pengelolaan. Health-related quality of life menggambarkan
komponen sehat dan fungsional
multidimensi seperti fisik, emosi, mental, sosial dan perilaku yang dipersepsikan oleh pasien atau orang
lain di sekitar pasien (orang tua atau pengasuh).7,8
*Indikator Quality of Life
Quality of
life memiliki indikator-indikator. Dan indikator-indikator
tersebut diteliti dan dikeluarkan oleh beberapa kelembagaan, seperti WHO,
Calvert-Henderson, dan lainnya. Namun, secara prinsipil indikator-indikator
tersebut adalah sama.7
Tabel 2.2 Bidang-bidang quality
of life menurut WHO7
Bidang
|
Segi-segi
Yang Berkaitan Dengan Bidang
|
Kesehatan
fisik
|
Aktivitas
hidup sehari-hari
Ketergantungan pada bahan obat dan
bantuan medis
Energi dan kelelahan
Mobilitas
Rasa sakit dan ketidaknyamanan
Tidur dan istirahat
Kapasitas Kerja
|
Psikologis
|
Gambaran tubuh dan penampilan
Perasaan negatif
Perasaan positif
Penghargaan diri
Spiritualitas / Agama / keyakinan
pribadi
Berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi
|
Hubungan
Sosial
|
Hubungan pribadi
Dukungan sosial
Aktivitas seksual
|
Lingkungan
|
Sumber
daya keuangan
Kebebasan, keamanan fisik dan
keamanan
Kesehatan dan kepedulian sosial:
aksesibilitas dan kualitas
Lingkungan rumah
Peluang untuk memperoleh informasi
baru dan keterampilan
Partisipasi dan kesempatan untuk
rekreasi / kegiatan di waktu luang
Lingkungan fisik (polusi / suara /
lalu lintas / iklim)
Transportasi
|
2.2.1 Kualitas Hidup pada Anak dan Dewasa Penderita Rhinitis Alergika
Dewasa ini
penatalaksanaan penyakit sudah mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup
penderita. Kualitas hidup merupakan konsep mengenai karakter fisik maupun psikologis
dalam konteks sosial. Rinitis alergik misalnya tidak hanya dianggap merupakan
penyakit yang menimbulkan berbagai gejala seperti bersin, rinorea, hidung
tersumbat tetapi juga mempertimbangkan pengaruh penyakit ini terhadap kehidupan
sosial penderita. Penderita juga mengalami gangguan tidur, masalah emosional,
penurunan aktivitas dan fungsi sosial penderita. 3
Untuk mengukur
kualitas hidup telah dikembangkan berbagai kuesioner. Kuesioner generik yang
mengukur fungsi fisik dan psikologis pada umumnya tanpa memperhatikan penyakit yang
diderita. Sedangkan kuesioner lain dikaitkan dengan penyakit yang diderita (disease
specific questionnaire). Di samping itu tersedia kuesioner yang lebih rinci
yang mengukur kualitas hidup kelompok tertentu misalnya Adolescent
Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire untuk kelompok umur
12 sampai 17 tahun.7,8
Tolak ukur
menilai kualitas hidup penderita penyakit alergi saluran napas, antara lain :8
1. Kuesioner skor gejala kualitas hidup rinokonjunktivitis
menyeluruh (Overall Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire
System Score).8
2. Kuesioner gangguan aktivitas dan produktivitas
kerja spesifik alergi.8
Bousquet
menunjukkan pada beberapa keadaan kualitas hidup penderita rinitis alergi lebih
buruk daripada penderita asma (tabel 2.2.1).8
Tabel 2.2.1 Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi
dan Asma.8
Asma
|
Rinitis
Alergi
|
|
Fungsi fisik
|
80
|
84
|
Fungsi sosial
|
66
|
70
|
Peran (fisik)
|
66
|
59
|
Peran (sosial)
|
74
|
57
|
Kejiwaan
|
89
|
73
|
Lelah
|
61
|
64
|
Nyeri
|
65
|
55
|
Persepsi umum
|
77
|
62
|
Pengukuran
kualitas hidup dapat digunakan untuk menilai manfaat terapi dalam uji klinik.8
Rinitis alergi berdampak pada penurunan
kualitas hidup penderitanya, penurunan produktifitas kerja, prestasi di
sekolah, aktifitas sosial dan malah dapat menyebabkan gangguan psikologis
seperti depresi. Total biaya langsung dan tidak langsung rinitis alergi
baru-baru ini diperkirakan menjadi $5,3 milyar per tahun.3
Rhinitis alergi
(RA) adalah penyakit peradangan umum yang
mempengaruhi lebih dari 10% dari populasi
dunia. Di antara pasien
dengan RA, kesulitan
tidur dan mempertahankan tidur sering mengakibatkan penurunan
energi siang hari, debar, penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor,
dan mengurangi kualitas
hidup. Salah satu kausa yang utama
adalah pada peran hidung tersumbat dan ventilasi
selama tidur, sehingga
arousals obstruktif dan kambuh. Kausa
alternatif lainnya melibatkan peran langsung dari
mediator inflamasi sistemik pada peraturan
peristiwa tidur dan
malam hari, mengakibatkan gejala siang hari dan
penurunan kualitas hidup. 7
Gejala kurang tidur pada penyakit
rinitis alergi itu sangat mengganggu konsentrasi penderitanya, sehingga tak
jarang penderita menjadi kelelahan akibat kurang tidur. Kurang tidur yang
sering dialami penderita mengakibatkan psikomotor
atau keterampilan penderita dan daya ingat terganggu, karena hidungnya
tersumbat atau bersin. Dampaknya produktivitas menurun.1,3,5
Terganggunya aktivitas
sehari-hari penderita rinitis alergi, menurut hasil penelitian Internasional
Congress of Allergy and Clinical Immunology (IAACI) Cancun Meksiko, yakni di Amerika Serikat terdapat 3,4 juta
orang kerjanya terganggu. Di Indonesia belum ada penelitian berapa besar dampak
dari kurangnya produktivitas pekerja yang menderita rinitis alergi. Meski demikian,
data dari rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan, hampir 20 persen pasien
yang berobat ke rumah sakit menderita rinitis alergi. 1,3
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan
masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan
disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya
ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif
maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non
sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup.1,3,5
BAB III
KESIMPULAN
Rhinitis Alergi secara klinis didefinisikan sebagai
gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan
mukosa hidung yang diperantarai IgE. Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan
hidung. Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu
pajanan menjadi rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang
tahun (perenial allergic rhinitis), dan akibat kerja (occupational
allergic rhinitis).
Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda
fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal,
maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas),
allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah),
lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan
spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah
dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan
masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan
disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya
ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif
maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non
sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian
lain yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan
kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten
ringan-sedang-berat.
DAFTAR
PUSTAKA
- Cantani,A. Allergic Rhinitis In : Pediatric Allergy, Asthma and Immunology ;2008, 875-910.
- Supardi E.F. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Fk UI. Jakarta.2008. Hal.101-106.
- Mabry RL. Allergic Rhinosinusitis In: Bailey BJ, ed. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 3rd ed Philadelphia: Lippincott-Raven; 2001; p. 281-91.
- Ballenger, JJ. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses In : Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition ;2003;547
- Higler A.B. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. EGC. Jakarta. 1997.
- Andrianto P.Dr.Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC. Jakarta. 2002.
- Krouse, HJ. Sleep and Quality of Life in Allergic Rhinitis In : Vester J,ed.Sleep and Quality of Life in Clinical Medicine ;2008 ;379-387.
- Djauzi, T. Perbaikan Kualitas Hidup pada Karyawan Penderita Alergi dalam Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial Number: 0125 – 913X Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta;2004;15-18.
0 komentar:
Posting Komentar