Pages

Ads 468x60px

Labels

Jumat, 18 November 2011

Kualitas Hidup pada Anak dan Dewasa Penderita Rhinitis Alergika


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE.1
Rhinitis alergi terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem kekebalan tubuh kita menyerang partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti bersin-bersin dan hidung meler. Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-partikel itu dapat menyebabkan suatu reaksi alergi.1,2
Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit rhinitis alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya .3
Bagaimana pun juga, rhinitis alergi harus dipikirkan sebagai keadaan yang cukup serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita akibat beratnya gejala yang dialami dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita akan mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, sering meninggalkan sekolah atau pekerjaannya, dan menghabiskan biaya yang besar bila menjadi kronis. RA juga dipengaruhi lingkungan dari faktor allergen. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.1,2,3
Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat. Kekerapan penyakit ini meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup menuju pola hidup masyarakat maju. Perubahan pembangunan dari sektor pertanian ke sektor gaya hidup masyarakat termasuk penggunaan selimut, karpet di rumah serta polusi udara merupakan faktor yang dapat meningkatkan kekerapan penyakit alergi terutama penyakit alergi pernapasan. Seperti juga anggota masyarakat lain maka para karyawan berisiko untuk menderita penyakit alergi dan risiko ini dapat bertambah jika lingkungan di tempat kerja memudahkan paparan terhadap berbagai alergen dan iritan. Di lain pihak penyakit alergi menurunkan produktivitas kerja. 3
Di Amerika Serikat rinitis alergik misalnya mengakibatkan kehilangan 811.000 hari kerja setiap tahun. Karyawan penderita alergi yang masuk kerja produktivitasnya menurun akibat gejala penyakit maupun pengaruh efek samping terapi. Mereka mengeluh mudah lelah, sulit berkonsentrasi dan sakit kepala.3
Quality of life atau kualitas hidup  adalah istilah yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan. Kesejahteraan menggambarkan seberapa baik perasaan seseorang terhadap lingkungan mereka, dan secara kolektif perasaan ini dapat dianggap sebagai quality of life. Istilah quality of life digunakan untuk mengevaluasi kesejahteraan individu dan masyarakat secara umum. Istilah ini digunakan dalam berbagai konteks, termasuk bidang pembangunan internasional, kesehatan, dan ilmu politik. Quality of life tidak sama dengan konsep standar hidup, yang didasarkan terutama pada pendapatan. Sebaliknya, indikator standar quality of life meliputi tidak hanya kekayaan dan lapangan kerja, tetapi juga membangun lingkungan, kesehatan fisik dan mental, pendidikan, rekreasi dan waktu senggang, dan hak untuk bersosial.3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RHINITIS ALERGI
2.1.1 Definisi

Rhinitis alergi (RA) adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,1986). Definisi menurut WHO ARIA rinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala rasa gatal, rinore, bersin-bersin, dan hidung tersumbat karena mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1,2

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

*Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung(bridge),batang hidung(dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).1,2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan kulit dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka terdiri dari tulang hidung (os nasal), processus frontalis os maxilla, processus nasalis os frontal.1,2
Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung iaitu sepasang kartilago nasalis latelaris superior, sepasang kartilago nasalis latelaris inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum.1,2
Rongga hidung/cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan,oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut koana yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring. Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepatnya dibelakang nares anterior pula disebut vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding iaitu dinding medial,lateral,inferior dan superior.1,2,3,4
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang rawan dan tulang,dimana bagian tulangnya adalah lamina perfendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os palatina sedangkan bagian tulang rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulangnya sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Dibagian depan septum nasi terdapat daerah yang disebut little’s area atau pleksus kleselbach yang merupakan tempat pertemuan pembuluh darah di hidung. 3,4,5
Dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan yang lebih kecil lagi ialah konka superior,sedangkan yang terkecil adalah konka suprema (biasanya rudimenter). Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maxilla dan labirin etmoid,sedangkan konka media,superior,dan suprema adalah bagian dari labirin etmoid.3,4,5
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Tergantung dari letak meatus ada tiga meatus yaitu inferior,media,dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada mestus inferior terdapat muara(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,sinus maxilla,sinus etmois posterior.Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka medis terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang seperti saringan, tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior atap rongga hidung terbentuk oleh os sfenoid. Semua bangunan ini membentuk batas rongga hidung.1,2,3,4

*Vaskularisasi Hidung
            Bagian atas rongga hidung berasal dari a.ethmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.3,4,5
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah hujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang hujung posterior konka media. Manakala bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yag disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus ini terletak superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.3,4,5
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak mempunyai katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.3,4,5

*Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas ringga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.ethmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).3,4,5
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas hujung posterior konka media.
Untuk fungsi penghidu pula berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3,4,5

*Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
  1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.1,2,3,4
  2. Fungsi penghidu kerana terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. Mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum berfungsi sebagai indera penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.1,2,3,4
  3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
    Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.1,2,3,4
  4. Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1,2,3,4
  5.  Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.1,2,3,4

2.1.3 Etiologi
            Kelainan alergi disebabkan sebagai reaksi imun yang tidak diharapkan yang disebut dengan atopi. Atopi adalah suatu tipe alergi yang diperantarai antibodi tipe-reagin. Mesipun IgE merupakan sistem imunoglobulin yang terutama terlibat dalam pembentukan kelainan atopik, mekanisme imun lain dapat pula berperan pada reaksi alergi.1,2,3

*Faktor-faktor yang berpengaruh pada RA
RA dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal penderita.
1. Faktor internal
Faktor internal penyebab munculnya gejala RA antara lain genetik/riwayat keluarga atopi positif dan jenis kelamin.3,4
a. Faktor genetik/riwayat keluarga atopi positif
RA berat dan sensitif terhadap multi alergen lebih sering ditemukan pada individu dengan riwayat atopi dibandingkan dengan non-atopi. Pada kenyataannya risiko terbesar RA adalah jika kedua orang tua atopi atau salah satu orang tua atopi, meskipun penyebab RA adalah multi faktorial. Komponen genetik yang diwariskan kepada anaknya adalah kemampuan untuk memberikan reaksi terhadap suatu alergen tertentu yang diturunkan. Gen yang berperan dalam RA anatara lain 3q21, 5q31–q33, 7p14–p15, 14q24.1,3,4
b. Jenis kelamin
Apabila seorang ibu dengan riwayat atopi positif maka akan diturunkan pada anak laki-laki dimana seluruh anak laki-lakinya akan menderita atopi positif tetapi bagi anak perempuannya hanya sebagai carrier. Berbeda halnya apabila riwayat alergi hanya berasal dari pihak ayah maka anak laki-laki hanya memiliki kemungkinan alergi 50% yang diturunkan, dan seluruh anak perempuannya tidak akan menderita atopi atau sebagai carrier.Meskipun demikian, Leif Hommers pada penelitiannya mendapatkan angka kejadian antara pria dan wanita adalah 1:1.1,3,4

2. Faktor eksternal
Faktor eksternal pasien dapat berupa faktor non-alergen/iritan dan faktor alergen. Faktor non-alergen antara lain suhu udara yang rendah, udara lingkungan yang lembab, serta gaya hidup. Sedangkan faktor alergen terdiri dari aeroalergen dan alergen ingestan.1,3

Faktor Non-Alergen
a.Suhu dan kelembaban udara
Larry GA dan Thomas AE pada penelitiannya menyatakan bahwa suhu udara berkisar 23–25oC serta 75% kelembaban relatif merupakan suasana yang sangat baik untuk hidup dan berkembangnya aeroalergen dari kecoa serta dust mite.4 Tungau 23 debu rumah (dust mite) dapat berkembang paling baik pada suhu 250C dengan kelembaban rerata 65-75%. Sama keadaannya dengan kecoa dimana lingkungan dengan kelembaban lebih dari 65% sangat disukai oleh kecoa.1,3,4
b. Gaya hidup
Penelitian di Amerika utara, Eropa dan Afrika Selatan menunjukan bahwa prevalensi penyakit atopi dan RA lebih tinggi di daerah perkotaan dari pada daerah pedesaan. Ditemukan pula bahwa anak peternak/petani mempunyai RA yang lebih sedikit dibanding yang lain. Hal ini mendukung bahwa gaya hidup di pedesaan dapat melindungi anak-anak dari penyakit alergi. 1,3
Aktivitas hidup sehari-hari yang lebih menghabiskan waktu di dalam suatu ruangan seperti petugas perpustakaan, pengarsipan dan administrator dimana akumulasi debu lebih mudah terjadi dibandingkan petugas yang bekerja di luar ruangan ataupun di lapangan maka lebih mudah terstimulasi untuk terjadinya RA. 1,3

2.1.4 Epidemiologi

 Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan. Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir.3
 Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Dalam suatu penelitian di Medan, dari 31 penderita rinitis alergi, ditemukan perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 1.58 : 1 (Hanum, 1989). Zainuddin (1999) di Palembang mendapatkan dari 259 penderita rinitis alergi 122 laki-laki dan 137 perempuan. Budiwan (2007) di Semarang pada penelitiannya dengan 80 penderita rinitis alergi mendapatkan laki-laki 37,5% dan perempuan 62,5%. Keluarga atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada nonatopi (Karjadi, 2001). Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Peran lingkungan rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi .5,6
Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 12.946 orang pasien berumur 5-62 tahun yang datang ke poliklinik sub bagian Alergi Imunologi bagian THT FKUI/RSCM selama tahun 1992, ditemui penderita rinitis alergi sejumlah 147 orang, atau berkisar 1,14%. Gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin/gatal hidung (89,80%), rinore (87,07%) dan obstruksi hidung (76,19%). Kelompok umur 1-10 tahun berjumlah paling sedikit (3,40%) kemudian meningkat dengan bertambahnya umur, dan selanjutnya menurun setelah berumur 40 tahun, dengan frekuensi terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun (37,41%). 5,6
Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara sekitar 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20%, di Jepang sekitar 10% dan 25% di New Zealand (Zainuddin, 1999). Insidensi dan prevalensi rinitis alergi di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Baratawidjaja et al (1990) pada penelitian di suatu daerah di Jakarta mendapatkan prevalensi sebesar 23,47%, sedangkan Madiadipoera et al (1991) di Bandung memperoleh insidensi sebesar 1,5%, seperti yang dikutip Rusmono (1993). Berdasarkan survei dari ISSAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001-2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18% .5,6

2.1.5    Klasifikasi
Saat ini klasifikasi RA menggunakan rekomendasi dari WHO ARIA 2001, yaitu berdasarkan tipe RA yang masing-masing dapat dibedakan menurut derajatnya. Klasifikasi RA berdasarkan tipe dibagi menjadi: 2
a. Rinitis alergika intermiten
Apabila gejala timbul kurang dari 4 hari per minggu atau berlangsung kurang dari 4 minggu. 2,5
b. Rinitis alergika persisten
Apabila gejala timbul lebih dari 4 hari per minggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.2,5
            Berdasarkan derajat RA, dibagi menjadi:
a. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.2,5
b. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih gangguan tersebut di atas.2,5
2.1.6 Patofisiologi
RA merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap elisitasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah terpapar alergen dan dapat berlangsung sampai 24–48 jam.2
Dalam patogenesisnya, RA dibedakan ke dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap efektor.1,3,5,6

1.Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung sari, debu, serpihan kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara napas. Pada kontak pertama dengan alergen, dimana makrofag atau monosit yang berperan 9 sebagai antigen precenting cell (APC) akan menangkap aeroalergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.1,3,5,6
Alergen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian diproses oleh makrofag/sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan APC menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0.1,3,5,6
Pada penderita atopi, reseptor sel T (TCR) pada limfosit Th0 bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara TCR bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin. APC melepas sitokin seperti IL-1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.1,3,5,6
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang mempunyai bakat alergi (atopi) dan presentasi alergen oleh sel-sel dari APC kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 dan IL-13 yang diikat oleh reseptorya di permukaan sel limfosit B, sehingga memacu sel 10 limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan sub-mukosa hidung.1,3,5,6

2. Fase elisitasi
a. Tahap aktifasi
Pada penderita yang sudah tersensitisasi jika terjadi paparan ulang dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung dapat terjadi ikatan/bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan sel mast/basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking). Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositol triphosphate (IP3) menyebabkan penglepasan ion calcium intra sel ( Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++- calmodulin yang mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet activakting factors (PAF) dan eksositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut sebagai preformed mediator seperti histamin, tryptase dan bradikinin.1,3,5,6
            Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena histamin dapat mengakibatkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung (bersin, rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat). Histamin mempunyai efek langsung pada endotel yaitu meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf nosiceptif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N.V menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang serosa.1,3,5,6
Selain itu histamin juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehinga terjadi transudasi ke interstitiel yang mengakibatkan mukosa hidung terutama konka menjadi edema. Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh histamin N-methyl transferase ( HMT) pada sel epitel maupun pada endotel.1,3,5,6
b. Tahap efektor
Gambaran khas RFL adalah tertariknya berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma bronkhial. Setelah reaksi fase segera dengan adanya penglepasan sitokin dan aktifasi endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat (RFL) terjadi pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam.1,3,5,6
           
Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/lokasi alergi dipengaruhi faktor kemotaktik, melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling), diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel seperti intercell adhesi molecule–1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesi molecule-1 (VCAM-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinofil mengekpresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus menerus dan menjadi dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitis alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala1,3,5,6
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan di mukosa hidung penderita rinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam). Pada mukosa hidung penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein (ECP), eosinophiel derived neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase  (EPO) yang mempunyai efek menyebabkan desagresi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.1,3,5,6

2.1.7 Gejala
Gejala klinik RA ditandai rasa gatal di hidung diikuti serangan bersin yang seringkali berturut-turut, rinore cair/seros dan hidung tersumbat yang berganti-ganti antara hidung sebelah kiri dan sebelah kanan terutama waktu tidur atau posisi berbaring. Selain itu pada sebagian kasus disertai gejala mata yaitu rasa gatal dan mata berair, rasa gatal di telinga dan kadang-kadang rasa gatal di langit-langit. Pada pemeriksaan fisik hidung ditemukan mukosa hidung yang bervariasi dari tampak normal sampai mukosa yang pucat, edem hebat dan rinore yang profus.1,2,3
Salah satu cara untuk mengukur beratnya gejala RA adalah menggunakan skor gejala yang relatif mudah dipahami oleh penderita yaitu yang langsung dihubungkan dengan aktifitas penderita sehari-hari. Gejala RA dibedakan dengan rentang nilai skor 0-3. Caranya penderita diminta untuk menilai 4 gejala pokok rinitis alergi yaitu hidung gatal, bersin, rinore dan hidung tersumbat. Nilai skor 0=tidak ada gejala, skor 1=ringan; ada gejala tapi tidak dirasakan mengganggu, skor 2=sedang; gejala mengganggu tapi masih dapat ditoleransi/tidak mengganggu aktifitas dan tidur, sedangkan skor 3=berat; gejala mengganggu aktifitas atau tidur.1,3,Gejala RA juga dapat diukur dengan cara obyektif dengan uji provokasi aplikasi alergen dan diukur beratnya gejala dengan menghitung frekuensi bersin, banyaknya rinore dan derajat obstruksi hidung dengan nasal respiratory peak flow.1,3,6

2.1.8 Diagnosis
Diagnosis RA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1,2,3

1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa dan hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis. Gejala rinitis alergi yang khas adalah bersin-bersin, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lain adalah rinore yang encer dan banyak, hidung tesumbat, hidung dan mata gatal, disertai lakrimasi. Sering gejala yang timbul tidak lengkap terutama pada anak-anak. Kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan pasien.1,2,3,5,6

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livide disertai adanya sekret encer yang banyak.6 Gejala spesifik lain yaitu warna kehitaman pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan yang terjadi karena adanya stasis dari vena akibat edema mukosa hidung dan sinus disebut allergic shiners. Pada anak-anak yang sering mengusap-usap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal dapat terjadi allergic salute. Keadaan mengusap-usap hidung lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Keadaan dimana mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi disebut facies adenoid atau sad looking face. Keadaaan dinding posterior faring tampak granuler dan edema sedangkan dinding lateral faring menebal disebut cobblestone appearance serta lidah tampak seperti gambaran peta disebut geographic tongue.1,2,3,5,6

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini memakai metode invitro dan invivo. Metode invitro yaitu dengan pemeriksaan hitung eosinofil dalam darah tepi, maupun pemeriksaan IgE total. Hasil pemeriksaan sering meningkat bila terdapat lebih dari satu jenis alergi. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA. Metode yang lain yaitu metode in vivo dengan cara tes kulit gores, tes kulit tusuk dan tes kulit intra epidermal yang tunggal atau berseri.1,2,3,5
            Uji kulit pertama kali dilakukan oleh Charles Horrison Backley pada tahun 1860 untuk mendiagnosis penyakit alergi musiman. Tes kulit ini kemudian menjadi standar untuk melakukan diagnosis penyakit alergi. Pada penderita alergi, tes kulit digunakan alergen yang bila sensitif akan menimbulkan reaksi kulit berupa eritema dan indurasi (wheal) 10-20 menit setelah alergen disuntik atau dicukit. Pemeriksaan ataupun tes alergi pada penderita dalam keadaan hamil lebih baik dihindari dengan alasan apabila terjadi anaphylactic shock maka harus dilakukan injectie adrenalin yang berisiko abortus, terutama pada trimester pertama.1,3,5,6
            Terdapat 2 macam uji kulit:
a. Uji kulit epidermal
1) Uji gores kulit (scrath test)
            Uji gores kulit dilakukan dengan menggores menggunakan jarum steril sepanjang 0,5 cm pada epidermis daerah punggung atau lengan bawah bagian volar, kemudian diteteskan alergen atau sebaliknya dengan diteteskan dulu alergen kemudian digores dengan kedalaman yang sama. Pembacaan hasil uji setelah 20 menit. Hasil uji positif apabila timbul eritema dan wheal, kemudian diukur diameternya dalam millimeter. Pada Basic Course Allergy in Otolaryngology 1993 di Boston dikemukakan bahwa sekarang uji gores kulit tidak dipergunakan lagi karena sering menimbulkan positif palsu karen asulit membedakan iritasi kulit dengan reaksi alergi, selain itu uji ini kurang sensitif.1,3

2) Uji cukit kulit (prick test)
            Uji cukit kulit ini sangat populer, cepat, sederhana, tidak menyakitkan, relatif aman, jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik, dapat dilakukan terhadap beberapa alergen pada satu sesi dan mempunyai korelasi yang baik dengan IgE spesifik. Uji ini mula-mula dilakukan dengan membersihkan lengan bawah bagian volar dengan alkohol, ditunggu sampai kering. Tempat penetesan alergen ditandai secara berbaris dengan jarak 2-3 cm di atas kulit tersebut. Teteskan setetes alergen pada tempat yang disediakan, teteskan juga kontrol positif (larutan histamine phosphate 0,1%) dan kontrol negatif (larutan phosphate buffered saline dengan fenol 0,4%), dengan memakai jarum disposable nomer 26.1,3
Kemudian dilakukan tusukan dangkal melalui masing-masing ekstrak yang telah diteteskan. Tusukan dijaga jangan sampai menimbulkan perdarahan. Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter eritema dan wheal yang timbul.1,3
Penilaian gradasi tes tusuk (prick test):1,3
Gradasi 0 : Terdapat eritema dan wheal berukuran 0 sampai dengan 1,0 mm.
Gradasi 1 : Terdapat eritema dan wheal berukuran 1,1 sampai dengan 2,0 mm.
Gradasi 2 : Terdapat eritema dan wheal  berukuran 2,1 sampai dengan 3,0 mm.
Gradasi 3 : Terdapat eritema dan wheal berukuran 3,1 sampai dengan 4,0 mm.
Gradasi 4: Terdapat eritema dan wheal berukuran lebih dari 4,0 mm.

b. Uji kulit intradermal
1) Pengenceran tunggal (dilution)
Tes kulit ini memakai konsentrasi yang bervariasi, biasanya memakai 1:1000 dan dilakukan jika respon alergen pada uji cukit kulit negatif atau kurang sensitif.1,3
2) Pengenceran berganda (Skin End point Titration/SET)1,3

2.1.9 Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi1,2,,3,5,6
2. Simtomatik:
*Medikamentosa
  • Antihistamin ( pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4 mg atau Loratadin/ Astemizole 1 x 10 mg sehari ).1,3,5,6
  • Kortikosteroid (Deksametason, Betametason), ingat kontra indikasi.1,3,5,6
  • Diberikan dengan "tappering off".1,3,5,6
  • Dekongestan lokal: tetes hidung. Larutan Efedrin 1/2-1%, atau Oksimetazolm 0.025% - 0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dan seminggu.1,3,5,6
  • Bila perlu buntu hidung dapat diterapi dengan kaustik konka inferior.1,3,5,6
  • Dekongestan oral: Psedoefedrin, 2 - 3 x 30 - 60 mg sehari.1,3,5,6
*Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.1,3,5,6
3. Imunoterapi
  • Desensitisasi dan hiposensitisasi : Cara ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
·      Netralisasi : Cara ini dilakukan untuk alergi makanan.1,3,5,6


2.2. KUALITAS HIDUP
Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya, yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan.7,8
Kualitas hidup dalam ilmu kesehatan dipakai untuk menilai rasa nyaman/sehat (well-being) pasien dengan penyakit kronik atau menganalisis biaya/manfaat (costbenefit) intervensi medis, meliputi kerangka individu, kelompok dan sosial, model umum kualitas hidup dan bidang-bidang kehidupan yang mempengaruhi.7,8
Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (health-related quality of life/HRQOL) menggambarkan pandangan individu atau keluarganya tentang tingkat kesehatan individu tersebut setelah mengalami suatu penyakit dan mendapatkan suatu bentuk pengelolaan. Health-related quality of life menggambarkan komponen sehat dan fungsional multidimensi seperti fisik, emosi, mental, sosial dan perilaku yang dipersepsikan oleh pasien atau orang lain di sekitar pasien (orang tua atau pengasuh).7,8
*Indikator Quality of Life
Quality of life memiliki indikator-indikator. Dan indikator-indikator tersebut diteliti dan dikeluarkan oleh beberapa kelembagaan, seperti WHO, Calvert-Henderson, dan lainnya. Namun, secara prinsipil indikator-indikator tersebut adalah sama.7

                Tabel 2.2 Bidang-bidang quality of life menurut WHO7
Bidang
Segi-segi Yang Berkaitan Dengan Bidang
Kesehatan fisik
Aktivitas hidup sehari-hari
Ketergantungan pada bahan obat dan bantuan medis
Energi dan kelelahan
Mobilitas
Rasa sakit dan ketidaknyamanan
Tidur dan istirahat
Kapasitas Kerja

Psikologis
Gambaran tubuh dan penampilan
Perasaan negatif
Perasaan positif
Penghargaan diri
Spiritualitas / Agama / keyakinan pribadi
Berpikir, belajar, memori dan konsentrasi

Hubungan Sosial
Hubungan pribadi
Dukungan sosial
Aktivitas seksual

Lingkungan
Sumber daya keuangan
Kebebasan, keamanan fisik dan keamanan
Kesehatan dan kepedulian sosial: aksesibilitas dan kualitas
Lingkungan rumah
Peluang untuk memperoleh informasi baru dan keterampilan
Partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi / kegiatan di waktu luang
Lingkungan fisik (polusi / suara / lalu lintas / iklim)
Transportasi

2.2.1 Kualitas Hidup pada Anak dan Dewasa  Penderita Rhinitis Alergika
Dewasa ini penatalaksanaan penyakit sudah mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup penderita. Kualitas hidup merupakan konsep mengenai karakter fisik maupun psikologis dalam konteks sosial. Rinitis alergik misalnya tidak hanya dianggap merupakan penyakit yang menimbulkan berbagai gejala seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat tetapi juga mempertimbangkan pengaruh penyakit ini terhadap kehidupan sosial penderita. Penderita juga mengalami gangguan tidur, masalah emosional, penurunan aktivitas dan fungsi sosial penderita. 3
Untuk mengukur kualitas hidup telah dikembangkan berbagai kuesioner. Kuesioner generik yang mengukur fungsi fisik dan psikologis pada umumnya tanpa memperhatikan penyakit yang diderita. Sedangkan kuesioner lain dikaitkan dengan penyakit yang diderita (disease specific questionnaire). Di samping itu tersedia kuesioner yang lebih rinci yang mengukur kualitas hidup kelompok tertentu misalnya Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire untuk kelompok umur 12 sampai 17 tahun.7,8
Tolak ukur menilai kualitas hidup penderita penyakit alergi saluran napas, antara lain :8
1. Kuesioner skor gejala kualitas hidup rinokonjunktivitis menyeluruh (Overall Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire System Score).8
2. Kuesioner gangguan aktivitas dan produktivitas kerja spesifik alergi.8

Bousquet menunjukkan pada beberapa keadaan kualitas hidup penderita rinitis alergi lebih buruk daripada penderita asma (tabel 2.2.1).8

Tabel 2.2.1 Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi dan Asma.8

Asma
Rinitis Alergi
Fungsi fisik
80
84
Fungsi sosial
66
70
Peran (fisik)
66
59
Peran (sosial)
74
57
Kejiwaan
89
73
Lelah
61
64
Nyeri
65
55
Persepsi umum
77
62

Pengukuran kualitas hidup dapat digunakan untuk menilai manfaat terapi dalam uji klinik.8
Rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial dan malah dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi. Total biaya langsung dan tidak langsung rinitis alergi baru-baru ini diperkirakan menjadi $5,3 milyar per tahun.3
Rhinitis alergi (RA) adalah penyakit peradangan umum yang mempengaruhi lebih dari 10% dari populasi dunia. Di antara pasien dengan RA, kesulitan tidur dan mempertahankan tidur sering mengakibatkan penurunan energi siang hari, debar, penurunan fungsi kognitif dan psikomotor, dan mengurangi kualitas hidup. Salah satu kausa yang utama adalah pada peran hidung tersumbat dan ventilasi selama tidur, sehingga arousals obstruktif dan kambuh. Kausa alternatif lainnya melibatkan peran langsung dari mediator inflamasi sistemik pada peraturan peristiwa tidur dan malam hari, mengakibatkan gejala siang hari dan penurunan kualitas hidup. 7
        Gejala kurang tidur pada penyakit rinitis alergi itu sangat mengganggu konsentrasi penderitanya, sehingga tak jarang penderita menjadi kelelahan akibat kurang tidur. Kurang tidur yang sering dialami penderita mengakibatkan  psikomotor atau keterampilan penderita dan daya ingat terganggu, karena hidungnya tersumbat atau bersin. Dampaknya produktivitas menurun.1,3,5
               Terganggunya aktivitas sehari-hari penderita rinitis alergi, menurut hasil penelitian Internasional Congress of Allergy and Clinical Immunology (IAACI) Cancun Meksiko,  yakni di Amerika Serikat terdapat 3,4 juta orang kerjanya terganggu. Di Indonesia belum ada penelitian berapa besar dampak dari kurangnya produktivitas pekerja yang menderita rinitis alergi. Meski demikian, data dari rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan, hampir 20 persen pasien yang berobat ke rumah sakit menderita rinitis alergi. 1,3
               Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya,  kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup.1,3,5


BAB III
KESIMPULAN
Rhinitis Alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE. Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung. Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis), dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis).
Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya,  kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.

DAFTAR PUSTAKA

    1. Cantani,A. Allergic Rhinitis In : Pediatric Allergy, Asthma and Immunology ;2008, 875-910.
    2. Supardi E.F. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Fk UI. Jakarta.2008. Hal.101-106.
    3. Mabry RL. Allergic Rhinosinusitis In: Bailey BJ, ed. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 3rd ed Philadelphia: Lippincott-Raven; 2001; p. 281-91.
    1. Ballenger, JJ. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal   Sinuses In : Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition ;2003;547
    2. Higler A.B. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. EGC. Jakarta. 1997.
    1. Andrianto P.Dr.Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC. Jakarta. 2002.
    2. Krouse, HJ. Sleep and Quality of Life in Allergic Rhinitis In :  Vester J,ed.Sleep and Quality of Life in Clinical Medicine ;2008 ;379-387.
    3. Djauzi, T. Perbaikan Kualitas Hidup pada Karyawan Penderita Alergi dalam  Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial Number: 0125 – 913X Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta;2004;15-18.

0 komentar:

Posting Komentar