Esofagitis
Korosif ialah peradangan di esofagus yang disebabkan oleh luka bakar karena zat
kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa kuat dan zat organik. Zat
kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang bersifat
korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya, sedangkan zat
kimia yang bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah
diserap oleh darah.2
Esofagitis
korosif adalah kerusakan esofagus yang terdiri dari kerusakan epitel mukosa
saja sampai kerusakan seluruh dinding esofagus karena bahan kimia yang termakan
atau terminum.1
Etiologi
Bahan kimia asam atau
basa kuat merupakan bahan yang sering menyebabkan terjadinya esofagitis
korosif. Basa kuat (alkali) merupakan penyebab tersering (70%) diantaranya
sodium hidroksi, pottasium hidroksi dan ammonium hidroksi. Basa kuat
menyebabkan terjadinya nekrosis mencair (liquifactum necrosis).
1,2
Penyebab esofagitis
20% nya adalah asam kuat yang bila tertelan akan menyebabkan nekrosis
menggumpal (coagulation necrosis). Bahan- bahan tersebut diantaranya
hidroklorida, sulfur, oksalat, dan asam nitrat. 1,2
Zat organik misalnya
lisol dan karbol biasanya tidak menyebabkan kelainan yang hebat, hanya terjadi
edema di mukosa atau submukosa. Asam kuat menyebabkan kerusakan pada lambung
lebih berat dibandingkan dengan kerusakan di esofagus, sedangkan basa kuat
menimbulkan kerusakan di esofagus lebih berat dari pada lambung.
2
Epidemiologi
Angka kejadian esofagitis korosif tertelan asam kuat,
basa kuat, cairan pemutih masih jarang ditemukan maupun dilaporkan di
Indonesia. Berbeda halnya di Afrika, di Nigeria
misalnya dilaporkan antara tahun 1986 s/d 1991 (5 tahun) 73 kasus striktur esofagus
karena bahan korosif, yang pada umumnya terjadi pada orang dewasa yang
ingin bunuh diri. Anak di bawah 5 tahun dilaporkan sering tertelan zat
yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan kelalaian. Sedangkan pada
remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada remaja sebagai percobaan
bunuh diri. Tidak ada perbedaan jenis kelamin dan ras yang mempengaruhi terjadinya esofagitis korosif. 1,5
Patofisiologi
Zat-zat korosif yang
tertelan tersebut menyebabkan cedera akut serta kronis. Pada fase akut, derajat
dan perluasan lesi tegantung pada beberapa faktor diantaranya sifat zat-zat
kaustik, konsentrasinya, jumlah yang tertelan dan waktu kontak zat dengan
jaringan. Asam dan alkali mempengaruhi jaringan dengan cara yang berbeda.
Alkali menguraikan jaringan sehingga penetrasinya lebih dalam yang menyebabkan
terjadinya nekrosis mencair (liquifactum necrosis) secara histologik dinding
esofagus sampai lapisan otot seolah-olah
mencair. Asam menyebabkan nekrosis koagulasi yang membatasi penetrasinya,
secara histologik dinding esofagus sampai lapisan otot seolah-olah menggumpal. 4
Uji coba pada binatang
memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara dalamnya lesi dengan konsentrasi
larutan sodium hidroksida. Sodium hidroksida 3,8 % yang kontak dengan jaringan
selama 10 detik, menyebabkan nekrosis mukosa dan submukosa tapi belum mengenai
lapisan otot, sedangkan konsentrasi 22,5 % mengakibatkan terjadinya penetrasi
seluruh dinding esofagus dan kedalaman jaringan periesofagus. Kekuatan
kontraksi esofagus bervariasi menurut area esofagus, yang melemah pada bagian
otot halus-lurik (tengah esofagus) sehingga pembersihan di daerah ini dapat
lebih lambat dan zat kaustik dapat melakukan kontak dengan mukosa lebih lama.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa esofagus lebih sering terkena dan
berpengaruh lebih berat di bagian ini daripada bagian yang lebih bawah.
4
Pada
pemeriksaan histologis dapat memperlihatkan infiltrasi sel polimorfonuklear, thrombosis
pembuluh darah, jaringan granulasi invasi bakteri pada luka bakar derajat 2 dan
3, jaringan fibrosa, deposisi kolagen, dan striktur dapat terbentuk.
4
Lesi
yang disebabkan oleh larutan alkali terjadi dalam 3 fase, yaitu fase nekrosis
akut, fase ulserasi dan granulasi dan
fase pembentukan jaringan parut. Fase nekrosis akut berlangsung 1-4 hari
setelah kontak. Selama periode ini, koagulasi protein-protein intraselular
menyebabkan nekrosis sel dan jaringan sekitarnya mengalami peradangan hebat. Fase
ulserasi dan granulasi di mulai 3-5 hari setelah kontak. Selama periode ini
jaringan nekrosis superfisial mengelupas, meninggalkan dasar berulkus yang
mengalami peradangan akut serta jaringan bergranulasi yang mengisi defek yang
ditinggalkan oleh mukosa yang terlepas. Fase ini berlangsung 10-12 hari dan
pada periode ini esofagus berada dalam keadaan yang paling rentan. Fase yang
terakhir adalah fase pembentukan jaringan parut (sikatrik) yang di mulai pada
minggu ke tiga setelah kontak dengan agen korosif. Jaringan parut yang
terbentuk sebelumnya mulai berkontraksi menyebabkan penyempitan esofagus.
Terjadinya perlengketan antara area-area granulasi menyebabkan terbentuknya
striktur. Selama periode inilah hendaknya dilakukan usaha untuk mengurangi
pembentukan striktur. 4,9
Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat
korosif tergntung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat
korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan
dimuntahkan atau tidak. 2
Secara
umum keluhan dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya nyeri didalam mulut
dan regio substernal, hipersaliva, nyeri saat menelan, dan disfagia. Sedangkan
demam dan perdarahan dapat terjadi serta
sering diiringi dengan muntah. 1
Esofagitis
korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka bakar yang
ditemukan yaitu:
- Esofagitis
korosif tanpa ulserasi
Pasien mengalami gangguan menelan
yang ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa hiperemis tanpa disertai ulserasi. 2
- Esofagitis
korosif dengan ulserasi ringan
Pasien mengeluh disfagia ringan,
pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak dalam yang mengenai mukosa esofagus
saja. 2
- Esofagitis
korosif ulserasif sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot.
Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih (multiple). 2
- Esofagitis
kororsif ulseratif berat tanpa komplikasi
Terdapat pengelupasan mukosa serta
nekrosis yang letaknya dalam, dan telah mengenai seluruh lapisan esofagus.
Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan striktur esofagus. 2
- Esofagitis
korosif ulseratif berat dengan komplikasi
Terdapat perforasi esofagus yang
dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis. Kadang-kadang ditemukan
tanda-tanda obstruksi jalan nafas atas dan gangguan keseimbangan asam dan basa. 2
Berdasarkan
gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam 3 fase
yaitu akut, fase laten (intermediate) dan fase krronik (obstructive). 2
a.Fase
Akut
Keadaan
ini berlangsung 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka bakar di daerah
mulut, bibir, faring dan kadang-kadang disertai perdarahan. Gejala yang
ditemukan pada pasien adalah disfagia yang hebat, odinofagia serta suhu badan
yang meningkat. Gejala klinis akibat tertelan zat organik dapat berupa perasaan
terbakar di saluran cerna bagian atas, mual, muntah, erosi pada mukosa, kejang
otot, kegagalan sirkulasi dan pernapasan. 2
b.Fase Laten (intermediate)
Berlangsung
selama 2-6 minggu. Pada fase ini keluhan pasien berkurang, suhu badan menurun.
Psien merasa ia telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik akan tetapi
prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan membentuk jaringan parut
(sikatriks). 2
c.Fase Kronis (obstructive)
Setelah
1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk jaringan
parut, sehingga terjadi striktur esofagus. 2
Diagnosis
1.
Anamnesis
Adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat organik merupakan salah satu
faktor utama ditegakkannya diagnosis
esofagitis korosif. Keluhan dan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh penderita
diantaranya nyeri didalam mulut dan regio substernal, hipersaliva, nyeri saat
menelan, dan disfagia. Sedangkan demam dan perdarahan dapat terjadi serta sering diiringi dengan muntah. 1
2.
Pemeriksaan Fisik
Pada
pemeriksaan fisik tidak banyak yang ditemukan, kecuali kerusakan di mukosa
mulut berupa bercak keputihan, udema dan luka. 1
3.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Peranan
pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat tanda-tanda
gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit darah. 2
b. Pemeriksaan Radiologi
-
Foto Thorax Postero-Anterior
dan Lateral, untuk
mendeteksi adanya mediastinitis atau aspirasi pneumonia. 2
-
Esofagogram (rontgen
esofagus dengan kontras barium), pemeriksaan
esofagogram tidak banyak menunjukkan kelainan pada stadium akut. Bila dicurigai
adanya perforasi akut esofagus atau lambung serta ruptur esofagus akibat trauma
tindakan, esofagogram perlu dibuat. Esofagogram perlu dilakukan setelah minggu
kedua untuk melihat ada tidaknya striktur esofagus dan dapat diulang setelah 2
bulan untuk evaluasi. 2,3
![]() |
Striktur esofagus pada pemeriksaan esofagogram |
![]() |
Tampak gambaran mediastinitis dengan pemeriksaan esofagogram |
c. Pemeriksaan
Esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar
di esofagus. Pada esofagoskopi akan tampak mukosa yang hiperemis, edema dan
kadang-kadang ditemukan ulkus. Esofagoskopi biasanya dilakukan pada hari ke
tiga setelah kejadian atau bila luka bakar di bibir, mulut dan faring sudah
tenang. Berikut derajat esofagitis korosif yang dilihat dari esofagoskopi: 2,5
Tabel 1. Derajat esofagitis korosif yang dilihat
dengan esofagoskopi
Derajat
|
Klinis
|
I
|
Hiperemia mukosa dan
udema
|
II
|
Perdarahan terbatas,
eksudat, ulserasi dan pseudomembran
|
III
|
Pengelupasan mukosa,
ulkus dalam dan perdarahan masif, obstruksi lumen
|
![]() |
Esofagitis korosif |
![]() |
Ulserasi di daerah esofagus |
![]() |
Perdarahan pada esofagus karena penggunaan alkohol yang lama |
![]() |
Ulkus dan erosi pada esofagus |
![]() |
Striktur pada distal esofagus |
Penatalaksanaan
Terapi pada esofagitis
korosif berusaha untuk mengatasi dampak cedera dini maupun lanjutan. Terapi
segera adalah dengan membatasi luka bakar dengan menelan zat penetralisir dalam
1 jam pertama. Larutan alkali dapat dinetralkan dengan cuka, jus lemon, atau
jeruk. Sedangkan zat asam dapat dinetralkan dengan susu, putih telur, atau
antasida. Zat-zat emetik dikontraindikasikan karena vomitus dapat menambah
kontak zat kaustik dengan esofagus dan dapat berperan terjadinya perforasi jika
terlalu kuat. Hipovolumia di koreksi dan diberikan antibiotikaa spektrum luas
untuk mencegah komplikasi infeksius. Jika terdapat gangguan keseimbangan
elektrolit diberikan infus aminofusin 600 2 botol, glukosa 10% 2 botol, Nacl
0,9% + Kcl 5 Meq/liter 1 botol. Jika diperlukan, selang makan melalui
jejunostomi dapat dimasukkan untuk memberikan nutrisi. Pemberian makan melalui
oral dapat dimulai saat disfagia dari fase awal telah berkurang. 2
Untuk mencegah infeksi
diberikan antibiotik selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam. Biasanya
diberikan penisilin dosis tinggi 1 juta - 1,2 juta unit/hari. Pemberian
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi, edema, dan mencegah terjadinya
pembentukan fibrosis yang berlebihan. Kortikosteroid harus diberikan sejak hari
ke pertama dengan dosis 200-300 mg sampai
hari ke tiga. Setelah itu dosis diturunkan perlahan-lahan tiap 2 hari (tapering off). Dosis yang dipertahankan
(maintenance dose) adalah 2x50
mg/hari. Analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Morfin dapat
diberikan, jika pasien merasa sangat kesakitan. 2
Perluasan nekrosis di
esofagus sering memicu perforasi dan paling baik jika dilakukan reseksi. Jika
terdapat perluasan yang melibatkan gaster, esofagus hampir selalu mengalami
nekrosis atau mengalami luka bakar berat sehingga diperlukan gastrektomi total
serta esofagektomi sub total. Adanya udara di dinding esofagus merupakan tanda
nekrosis otot dan perkiraan terjadinya perforasi sehingga perlu dilakukan
esofagektomi. Penggunaan stent esofagus intraluminal dapat dilakukan pada
pasien yang saat di operasi tidak terdapat bukti perluasan nekrosis
esofagogastrika. Pada pasien seperti ini, biopsi dinding gaster posterior
hendaknya dilakukan untuk menyingkirkan cedera tersembunyi. Apabila secara
histologis diragukan, dilakukan pemeriksaan kedua setelah 36 jam. Jika stent
dimasukkan, posisi stent tetap dipertahankan selama 21 hari dan di lepas
setelah diyakinkan dengan esofagogram barium. Esofagoskopi hendaknya dilakukan
dan jika terdapat striktur, segera dilakukan dilatasi. 5,6
Pemeriksaan
esofagoskopi tidak boleh dipaksa bila terdapat ulkus karena ditakutkan terjadi
perforasi. Pada keadaan demikian sebaiknya dipasang pipa hidung lambung (pipa
naso gaster) dengan hati-hati dan terus menerus selama 6 minggu. Setelah 6
minggu esofagoskopi di ulang kembali. Pada fase kronik biasanya sudah terdapat
striktur esofagus. Untuk ini dilakukan dilatasi dengan bantuan esofagoskop.
Dilatasi dilakukan sekali seminggu, bila keadaan pasien lebih baik dilakukan
sekali 2 minggu. Setelah sebulan, sekali 3 bulan dan demikian seterusnya sampai
pasien dapat menelan makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi hasilnya kurang
memuaskan sebaiknya dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anastomosis ujung ke
ujung. 4,6,7
Setelah fase akut dilewati,
lakukan pencegahan dan penatalaksanaan striktur. Dilatasi antegrade dengaan bougi Hurst
atau maloney dan dilatasi retrograde dengan bougie Tucker telah memberikan hasil yang memuaskan. Pengalaman
dengan dilatasi dini yang dimulai saat fase akut pada 1079 paien memberikan
hasil yang sempurna pada 78%, baik pada 13%, dan buruk pada 2%, dan 55 pasien
meninggal saat terapi. Sebagai perbandingan, pengalaman dengan 333 pasien yang
strikturnya dilatasi menunjukkan bahwa hanya 21% yang mempunyai hasil sempurna,
46% baik, 6% buruk, dan 3 meninggal saat proses korosif berlangsung. Lumen yang
kuat hendaknya dicapai kembali dalam waktu 6 bulan hingga 1 tahun. Bila selama perjalanan
terapi, lumen yang adekuat tidak dapat dicapai atau dipertahankan, harus digunakan
bougie yang lebih kecil, intervensi
operatif diindikasikan bila terdapat : 4,6
- Stenosis
total dimana semua tindakan di atas telah gagal untuk membentuk lumen
- Irregulitas
yang berarti dan pembentukan striktur pada pemeriksaan barium
- Pembentukan
reaksi periesofageal yang berat atau mediastinitis
- Terdapat
fistula
- Ketidakmampuan
berdilatasi
- Pasien
yang tidak mampu atau tidak mau menjalani perpanjangan periode dilatasi.
Operasi rekonstruksi
dan reseksi perlu dilakukan bila
terdapat fistel stenosis total, stenosis tidak teratur pada beberapa tempat
atau dilatasi tidak dapat dilakukan tanpa komplikasi perforasi. Saat ini,
lambung, jejunum, dan kolon merupakan organ yang digunakan untuk mengganti
esofagus melalui rute mediastinum posterior maupun rute retrosternal. Rute
retrosternal dipilih ketika terdapat riwayat esofagektomi sebelumnya atau bila
terdapat fibrosis yang luas di mediastinum posterior. Ketika semua faktor telah
dipertimbangkan, pilihan lain sebagai pengganti esofagus adalah kolon, lambung
, ataupun jejunum. Graft jejunum bebas berdasarkan arteri tiroid superior telah
memberikan hasil yang sempurna. Metode yang dipilih harus dipertimbangkan,
kesalahan dalam memutuskan tindakan dan teknik operasi dapat menyebabkan
komplikasi serius bahkan fatal.
1,7
Hal yang penting dalam
merencanakan operasi adalah pemilihan lokasi anastomosis proksimal, apakah
esofagus servikal, sinus piriformis, atau faring posterior. Lokasi anastomosis
tergantung pada perluasan faring dan kerusakan esofagus servikal yang ditemukan.
Pada saat esofagus servikal hancur dan sinus piriformis tetap terbuka,
anastomosis dapat dilakukan di hipofaring. Ketika sinus piriformis benar-benar
mengalami stenosis, digunakan pendekatan transglotika untuk melakukan
anastomosis terhadap dinding orofaring posterior. Dapat dilakukan eksisi
striktura supraglotika dan elevasi serta pemiringan laring ke anterior. Pada
kedua keadaan ini pasien harus belajar menelan kembali, penyembuhannya yang
lama serta membutuhkan beberapa kali dilatasi dengan endoskopi dan sering
dilakukan operasi ulang. 7
Penatalaksanaan bypass
esofagus yang rusak setelah terjadinya cedera masih menimbulkan masalah. Bila
esofagus masih dipertahankan untk menghindari rusaknya nervus vagus, harus
dipertimbangkan pembentukan ulserasi dari refluks gastroesofageal atau
pembentukan karsinoma. Namun, meninggalkan esofagus yang rusak ditempatnya
dapat menyebabkan obstruksi multiple dan selanjutnya pembentukan abses
mediastinum bertahun-tahun kemudian. Pada umumnya sebagian besar ahli bedah
menyarankan esofagus hendaknya diangkat kecuali terdapat resiko operatif yang
cukup tinggi. 7
Penggunaan segmen kolon
untuk mengganti fungsi esofagus yang mengalami striktur akibat zat korosif
memberikan
hasil yang baik. Penderita dapat menelan makanan secara normal dan dapat
melakukan pekerjaan sehari-hari secara normal dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Penggunaan transposisi kolon
merupakan salah satu pilihan pembedahan untuk mengganti fungsi esofagus akibat
striktur esofagus yang tidak membaik secara konservatif. 7
NOTE: Untuk lebih lengkapnya dapat Anda download di sini.
2 komentar:
selamat pagi, bolehkah saya minta file lengkapnya?
apa boleh saya minta file lengkapnya juga .. sangat bermanfaat :)
Posting Komentar